17 Tahun Damai, Wali Nanggroe: Lebih 800 Ribu Rakyat Aceh Miskin

Wali Naggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar. Foto: Razi/RMOL Aceh.
Wali Naggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar. Foto: Razi/RMOL Aceh.

Wali Naggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar, menyebutkan bahwa berdasarkan cacatan Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh di tahun 2022, ada lebih dari 800 ribu atau 15 persen dari 5,3 juta masyarakat Aceh yang masuk dalam kategori miskin.


"Ini tentu menjadi indikasi bahwa ada yang salah dengan tata kelola pemerintah dan tata kelola keuangan Aceh," kata Malik Mahmud dalam acara peringatan 17 tahun Hari Damai Aceh, Senin, 15 Agustus 2022.

Dia menyampaikan, jika seluruh butir-butir MoU Helsinki dan pasal-pasal dalam UUPA telah diimplementasikan secara maksimal, rakyat Aceh bukan hanya terlepas dari belenggu kemiskinan, tapi juga akan menjadi bangsa yang sejahteta, berwibawa dan bermartabat.

Wali Nanggroe mengatakan, belum cukup dirasakan damai jika Aceh masih bergantung pada sumber APBA dan Otsus semata, Aceh mesti kelola dengan baik dan profesional potensi pertanian, perikanan, peternakan dengan membangun infrastruktur dan supra-struktur yang mendukung peningkatan kualitas produksi.

"Mengolah menjadi bahan jadi guna memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh. Setelah terpenuhinya kebutuhan kita, selanjutnya memenuhi kebutuhan masyarakat diluar Aceh," katanya.

Demikian juga pemanfaatn potensi letaknya geografis Aceh yang strategis, khususnya dinjalur perdagangan laut dan penerbangan udara Internasional. Dengan didukung ketulusan dan keikhlasan dalam upaya Aceh dan hal tersebut bukan perkara yang sulit untuk dilaksanakan.

"Belum cukup dirasakan damai juga, jika kita masih mempraktekkan prilaku yang korup, prilaku yang menghalalkan segala cara, prilaku yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok. Terlebih prilaku yang menodai syariat islam di Aceh

," ujar dia.

Selain itu, Malik Mahmud juga menyamoaikan, model penyelesaian konflik yang dilakukan Pemerintah Indonesia di Aceh bisa menjadi salab satu referensi dalam penyelesaian konflik yang terjadi di sejumlah negara di berbagai belahan dunia.

"Dengan demikian Indonesia dan Aceh bisa memberikan konstribusi positif dalam menciptakan perdamaian dunia," sebutnya.

Dia menambahkan, komitmen Aceh di dunia Internasional bahwa perdamaian ini akan terus dijaga, dirawat, dan diupayakan dengan segenap pikiran serta tenaga untuk tercapainya semua kesepahaman yang telah disepakati.

"Perlu saya ingatkan kembali bahwa MoU Helsinki bukanlah titik berhentinya perjuangan Aceh, melainkan starting point dimulainya perjuangan dari angkatan bersenjata ke haluan politik," ujar Malik Mahmud.