46 Kasus Gajah Mati dalam Kurun Waktu Tujuh Tahun, Aceh Darurat Perlindungan Satwa

Bangkai gajah tanpa kepala di areal perkebunan di Aceh. Foto: dokumentasi BKSDA.
Bangkai gajah tanpa kepala di areal perkebunan di Aceh. Foto: dokumentasi BKSDA.

Dalam kurun tujuh tahun terakhir, sebanyak 46 kasus kematian gajah terjadi di Aceh. Perburuan liar dan konflik dengan manusia jadi pemicu tingginya angka kematian satwa kunci wilayah tersebut.


Hingga saat ini sendiri, untuk kasus konflik Gajah Sumatera di Aceh dalam kurun waktu 2015-2021, sebanyak 528 kasus konflik dengan manusia terjadi di Aceh.

Kepala Balai Gakkum Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatera, Subhan mengatakan, pada tahun 2015 sebanyak  49 kasus, 2016  sebanyak 44 kasus, 2017 sebanyak 103 kasus, 2018 sebanyak 73 kasus, 2019 sebanyak 107 kasus, 2020 sebanyak 130 kasus dan 2021 sebanyak 76 kasus.

"Sementara untuk kasus kematian gajah juga cukup tinggi. Dalam kurun waktu itu ada 46 kasus kematian gajah yang kita catat," kata Subhan dalam sesi webinar bertema "Darurat Perlindungan Satwa di Aceh", Kamis, 12 Agustus 2021.

Dalam sesi webinar yang diadakan oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh dan Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HakA), Subhan mengatakan, penyebab tingginya angka kematian dan konflik gajah itu dikarenakan maraknya kasus perambahan hutan, alih fungsi hutan dan praktik penebangan liar.

"Ini harus menjadi perhatian. Kasus-kasus perburuan liar, juga jadi resiko tinggi akan menyusutnya jumlah satwa kunci di Aceh," sebutnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Aceh, A. Hanan mengatakan, sebanyak 57 persen penyebab kematian Gajah di Aceh akibat adanya konflik dengan masyarakat. 

"Sementara 10 persen itu akibat perburuan dan 33 persen mati alami," kata Hanan.

Menurutnya, untuk mencegah agar konflik satwa ini tidak berkelanjutan, penting untuk menciptakan penataan ruang dengan mempertimbangkan habitat satwa di Aceh.

"Pembinaan padang rumput, penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung, pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa, penjarangan jenis," terangnya.

Untuk kasus perburuan satwa di Aceh sendiri, Penyidik Direktorat Reserse Krimal Khusus (Ditreskrimun) Polda Aceh, Wahyudi ada beberapa motif maraknya perburuan satwa di Aceh.

Misalnya tingginya permintaan pasar dan nilai ekonomis yang tinggi. Selain itu ada empat modus yang kerap ditemukan dalam perburuan satwa di Aceh.

"Seperti pemasangan jebakan, jerat, ranjau tombak dan memberi racun pada makanan yang disukai satwa," terangnya.

Pada 2019 menangain sembilan perkara dengan 17 tersangka terkait perburuan kasus satwa lindung di Aceh. Semetara untuk 2020 ada tujuh kasus dengan empat tersangka.

"Untuk 2021 itu ada dua perkara dengan dua tersangka. Ini kasusnya perburuan orang hutan dan kasus gajah mati tanpa kepala di Aceh Timur," ungkapnya.

Pembina Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Infromation Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo mengatakan, perdagangan satwa liar di Aceh mengancam Mega Biodiversity.

"Karena Indonesia berada di pusaran perdagangan satwa liar dunia. Indonesia tercatat sebagai salah satu eksportir produk satwa liar terbesar dunia bersama dengan Jamaica dan Honduras," ujarnya.