Aceh Kehilangan Orientasi Pembangunan karena Kelalaian Pengelolanya

Pengamat kebijakan publik, Nasrul Zaman. Foto: ist
Pengamat kebijakan publik, Nasrul Zaman. Foto: ist

Pengamat kebijakan publik, Nasrul Zaman, menilai prestasi Aceh bertahan sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera lantaran Aceh kehilangan orientasi pembangunan karena kelalaian dan keabaian para pengelolanya.


"Andai pemerintah Aceh taat azas pembangunan yaitu tetap berpegang pada RPJM (Rencana Program Jangka Menengah) Aceh 2018-2022 bisa dipastikan Aceh tidak separah ini kondisinya," kata Nasrul Zaman, kepada Kantor Berita RMOLAceh, Senin, 19 Juli 2021.

Nasrul menjelaskan, secara umum ada enam indikator untuk mengukur kemiskinan yang terjadi yakni kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pangan, air minum dan perumahan. 

Dari ke enam indikator tersebut, kata Nasrul, hanya pangan yang sejauh ini masih bertahan baik dan mampu mendukung dan menopang ekonomi daerah.

"Soal rumah misalnya Pemerintah Aceh sama sekali tidak menjalankan visi dan misi Irwandi-Nova karena tidak mampu memenuhi target jumlah pembangunan 2018-2021 ini," ujar Nasrul.  

Sementara di bidang kesehatan, lanjut Nasrul, lebih dominan kuratif dan rehabilitatif sehingga promotif dan preventi ketinggalan. Akibatnya masyarakat tidak teredukasi dengan baik temasuk dalam penanganan pandemi Coivid-19 di Aceh.

"Soal pendidikan juga kalau kita lihat dari capaian rata-rata siswa Aceh yang lulus masuk PTN pada 2021 ini juga masih pada urutan terbawah dari 8 provinsi di Sumatera," ungkapnya. 

Nasrul menyampaikan, indikator lain Aceh sebagai privinsi termiskin di Sumatera adalah kurangnya lapangan pekerjaan, sehingga minimnya nilai investasi langsung yang bersedia masuk ke Aceh sejak 2018-2021. 

Meski demikian, tambah Nasrul, kondisi ini bisa dimaklumi lantaran secara nasional juga investasi langsung cenderung turun drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya.

"Soal air minum meski angkanya baru mencapai 70 persen warga Aceh yang mengakses air minum sehat tapi jika dibanding dengan anggaran yang ada serta potensi air yang besar di Aceh rasanya angka 70 persen tersebut merupakan capaian yang sangat kecil," ujarnya.

Menurut Nasrul, status Aceh masih bertahan di posisi termiskin di Sumatera tak begitu mengherankan. Karena secraa umum Pemerintah Aceh tidak mampu mengelola dana yang tersedia sangat besar. 

Nasrul mencontohkan, Silpa tahun 2019 mencapai Rp2.8 Triliun dan tahun 2020 hampir Rp4 Triliun. Besarnya Silpa ini menandakan bahwa APBA yang selama ini menjadi stimulan utama pertumbuhan ekonomi Aceh malah tidak berfungsi.

Nasrul menyebutkan, disisi lain yang  menunjukkan pemerintah belum mampu bekerja dengna baik yaitu beberapa departemen teknis di pusat yang mengelola DAK tidak menggunakan Bank Syariah sebagai Bank penyalurnya sehingga Aceh kehilangan potensi catatan uang puluhan Triliun.

"Harusnya Gubernur dan jajarannya sejak awal sudah berkomunikasi dengan pusat tentang kewajiban departemen tersebut menggunakan Bank smSyariah dalam transaksi DAK yang ada," kata Nasrul.