AJI: 25 dari 34 Jurnalis Perempuan Alami Kekerasan Seksual

Ilustrasi: net.
Ilustrasi: net.

Aliansi Jurnalis Independen mencatat 25 dari 34 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Dampak kekerasan yakni trauma meliput, trauma bertemu narasumber, dan berhenti menjadi jurnalis. 


"Pelaku kekerasan yaitu pejabat pemerintah, polisi, ormas, TNI, politikus, rekan kerja atau senior. Kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi pada jurnalis perempuan umumnya tidak terdata secara detail,” ujar Ketua Bidang Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Nani Afrida, dalam sebuah diskusi virtual, kemarin.

Saat ini, kata Nani, AJI melakukan pendampingan dan advokasi untuk jurnalis baik laki-laki maupun perempuan yang mengalami kekerasan saat melakukan peliputan, setelah peliputan, dan juga dalam hubungannya dengan perusahaan pers. 

Jurnalis, kata Nani, rentan terhadap kekerasan dengan adanya media sosial dan kekerasan di dunia maya. Menurut Nani, pandemi Covid-19 di Indonesia juga mempengaruhi jurnalis. Terutama dalam hubungannya dengan perusahaan yang berujung PHK. 

Nani menyebut jenis kekerasan yang biasa dihadapi jurnalis perempuan adalah ancaman kekerasan atau teror, kekerasan fisik, intimidasi lisan oleh pejabat publik, pengusiran atau pelarangan liputan, perusakan alat atau data saat peliputan, larangan pemberitaan, pelecehan seksual oleh narasumber, rekan, dan senior, upah lebih rendah, dan diskriminasi di newsroom. 

“Kekerasan yang terjadi pada jurnalis perempuan yang berujung ke masalah legal bisa didampingi oleh organisasi jurnalis dan LBH Pers,” kata Nani. 

Dalam diskusi yang sama, Ketua Komnas Perempuan Indonesia, Andy Yentriani, menyampaikan bahwa berdasarkan data dari The Chilling, Global Trends in Online Violence Against Women Journalist, UNESCO tahun 2021 terkait kekerasan online/daring, sebanyak 73 persen perempuan jurnalis pernah alami kekerasan online.  

25 persen ancaman kekerasan fisik, 13 persen diarahkan kepada orang terdekat. 20 persen alami serangan fisik terkait dengan ancaman yang ia terima secara online. 18 persen kekerasan online yang dihadapi adalah kekerasan seksual dalam berbagai bentuk. Berikutnya, 26 persen alami gangguan kesehatan jiwa, 11 persen alami gangguan bekerja, 4 persen mengundurkan diri. 

49 persen kekerasan online dikaitkan dengan gender, 44 persen terkait pemilu, 31 persen terkait kebijakan HAM dan gender. Ras, agama dan orientasi seksual meningkatkan kerenanan. 25 persen melaporkan kasusnya ke atasan, 10 persen tidak mendapatkan respons, sembilan persen diminta untuk lebih tegar, dua persen dituduh memprovokasi kekerasan.  

"11 persen melaporkan kasusnya ke polisi, 8 persen yang ke proses hukum, 2 persen menuntut aktor negara secara hukum," ujarnya. Andy Yentriani juga menyampaikan langkah ke depan menyikapi kerentanan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan jurnalis. 

Sementara itu, Pengurus cabang NU Kota Lhokseumawe, Tgk M Rizwan Haji Ali, mengatakan upaya melindungi jurnalis perempuan dapat dilakukan dengan memastikan perangkat hukum memberikan perlindungan kepada aktivitas jurnalis, karena setiap pembawa kabar memiliki risiko. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pelecehan. 

"Meningkatkan profesionalitas jurnalis perempuan. Menjaga kode etik jurnalistik secara konsisten. Menjaga perilaku sesuai tata pergaulan dalam Islam dan kebiasaan setempat. Menjaga cara penampilan yang sopan dan melindungi," kata Rizwan.