Akademisi: KMP Aceh 1 Bermasalah, Pemerintah Harus Bertanggung Jawab

KMP Aceh Hebat 1. Foto: dok Dishub Aceh.
KMP Aceh Hebat 1. Foto: dok Dishub Aceh.

Akademisi Universitas Muhammadiyah (Unmuha) Aceh, Taufiq A Rahim, menyayangkan kerusakan yang dialami Kapal Motor Penumpang (KMP) Aceh Hebat 1. Kerusakan di bagian hidrolik saat sandar di Pelabuhan Simeulue itu menyebabkan kapal tak bisa berangkat tepat waktu.


 Menurut Taufiq, saat di Pelabuhan Calang, Kapal tersebut kembali mengalami kendala yakni baut patah, sehingga bermasalah juga dengan pintu dan harus dibubut ke Banda Aceh. 

"Karenanya, jika ini memang kapal baru yang merupakan KMP penyeberangan antar pulau, bahkan di Samudra Hindia, apanya yang hebat?," ujar Taufiq A Rahim, di Banda Aceh, Kamis, 18 Maret 2021.

Taufiq mengatakan, jika pembelian KMP Aceh Hebat ini berasal dari dana otonomi khusus (Otsus) maka harus dipahami bahwa, kapal tersebut juga ada darah dan nyawa rakyat Aceh dari korban konflik selama 32 tahun sebelum dilakukan Memorandum of Understanding (MoU) 15 Agustus 2005 yang lalu. 

"Sehingga mesti tidak sembarangan dan seenaknya menggunakan anggaran belanja publik, yang berasal Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA)," kata Taufiq.

Taufiq menyampaikan, pihak terkait mesti mempertanggung jawabkan penggunaannya, tidak hanya sekadar mengejar prestige dan popularitas Gubernur Aceh dan Satuan Kerja Pemerintah Aceh, Dinas Perhubungan dengan launching besar-besar.

"Jika benar disinyalir merupakan kapal bekas, maka Pemerintah Aceh telah menghisap darah dan nyawa rakyat Aceh korban konflik," tegasnya. 

Taufiq juga mempertanyakan jika memang benar kapal baru, mengapa rusak dan onderdilnya secara teknis rusak dan mengganggu pelayaran secara serius. Demikian juga, bagaimana fungsi pengawasan, baik dari Instansi Inspektorat,  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga pengawasan lainnya, baik internal pemerintah maupun eksternal. 

"Demikian juga dengan fungsi pengawasan secara politik dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), yang secara kebijakan politik anggaran sangat bertanggung jawab untuk mengawasi mulai dari proses tender, pengerjaan dan siap pakai serta saat ini digunakan untuk pelayaran di laut," jelasnya.

Hal ini, kata Taufiq harus menjadi fokus Pemerintah Aceh, lanatarn menyangkut dengan nyawa rakyat di tengah laut saat berlayar, disamping berbagai kerugian materil, ekonomi dan waktu pada saat terjadi penundaan pelayaran. 

"Karena pihak pengelola pelayaran tidak ingin sembarangan menanggung risiko nyawa penumpang jika terjadi insiden yang fatal di tengah laut dan mengorbankan nyawa serta banyak pihak," kata Taufiq.

Oleh karena itu, lanjut Taufiq, yang menjadi tanda tanya adalah bagaimana pengawasan yang dilakukan selama ini terhadap KMP Aceh Hebat yang selama ini diagung-agungkan Pemerintah Aceh, ternyata baru satu minggu melakukan operasional pelayaran sudah bermasalah. 

Taufiq menilai, jika penyusutan terhadap teknis konstruksi kapal sudah berlaku, kedepan akan banyak masalah teknis lainnya. Siapa yang bertanggung jawab terhadap KMP Aceh Hebat? Pemerintah Aceh, lembaga pengawas dan juga DPRA? Ini menyangkut uang dari APBA, sebagai kebijakan publik dan politik anggaran,  juga menyangkut aset dan harta kekayaan yang nota bene juga milik rakyat Aceh, bukan milik pejabat ataupun elite Aceh.

Menurut Taufiq, Aceh Hebat mesti dipertanggung jawabkan, karena baru satu minggu sudah bermasalah. Jangan nafikan dan anggap enteng masalah ini, tanggung jawab politik, moral, kemanusiaan dan 'dosa' bagi pejabat Pemerintah Aceh, ternyata amanah sebagai pemimpin berlaku semena-mena dengan KMP Aceh Hebat dengan teknologi kedirgantaraan. 

"Yang menurut sejarah Aceh pernah jaya. Juga belum lagi jika mengurus serta mengelola pesawat terbang yang teknologinya jauh lebih canggih dan risikonya juga lebih besar," ungkapnya.