Albert Camus Membaca Pagebluk Covid-19

Ilustrasi: The Stranger.
Ilustrasi: The Stranger.

ENTAH sampai kapan virus corona baru (Covid-19) ini akan berlalu, bahkan varian baru pun menunggu, kondisi ini membuat hidup semakin tak menentu. Menghadapi pegebluk yang semakin suntuk ini, penulis teringat kembali kepada Albert Camus melalui novel “Samparnya”.

Bagi Camus, penderitaan tak mengenal orang baik atau jahat, siapa saja bisa tertular lalu sakit dan mati. Sebagai seorang penghayat absurditas, Camus memandang wejangan keagamaan sia-sia dalam menjelaskan wabah sebagai hukuman kolektif dari Tuhan.

Saat menghadapi pagebluk, Camus percaya sepenuhnya pada kekuatan manusia meski menyadari ketaksempurnaannya. Mereka yang berserah diri mengharapkan keajaiban dari luar dirinya, menunggu sesuatu di luar bayangannya, maka mereka ini tak akan menemukan jawaban.

Mereka mungkin menemukannya setelah kematian, tapi ketika itu sudah tak ada artinya. Kebalikannya, mereka yang menghadapi realitas dengan menerima apa adanya, menurut Camus di penghujung kisah ia menulis….mereka telah mendapatkan apa yang mereka idamkan. Karena selama itu mereka mengharapkan satu-satunya yang tergantung kepada mereka sendiri (Buku Obor, 2020: 375).  

Dan persis untuk konteks sekarang, bayangkan Anda yang beberapa hari yang lalu segar bugar lalu tiba-tiba terserang demam, sesak nafas, cepat lelah, dan mulai kehilangan penciuman.

Berdasarkan diagnosis dokter Anda dinyatakan positif Covid. Sisa hidup Anda, terhenti di kamar isolasi menanti datangnya kesembuhan. Dalam kondisi demikian, mungkin Anda akan mengutuk dunia atau menuntut keadilan Tuhan.

Bagi Camus, dalam kisah Sampar ia mengajak manusia untuk berfikir dan bertindak dengan bertolak dari manusia sebagai penentu sejarahnya.

Dengan kata lain jika membandingkan jumlah kematian akibat Covid di beberapa negara, kita mendapati perbedaannya secara signifikan, lantas apakah itu berarti menggambarkan perbedaan kasih sayang Tuhan?

Meminjam bahasa Camus, perbedaan angka korban Covid bukanlah suatu keajaiban atau sebaliknya hukuman: Covid tak mengenal negara sekuler atau negara berbasis agama.

Bertolak dari pengyahatan Camus atas sampar, manusia di hadapan pegebluk sama: tak berdaya. Namun meski tak ada manusia yang sempurna. Sama seperti tidak ada makhluk lainnya yang sempurna.

Maka dalam menghadapi pagebluk, manusia tak bisa hanya menganggapnya sebagai mimpi buruk yang segalanya pasti berlalu. Hal ini sama saja menolak adanya kontradiksi dalam kehidupan.

Lantas kepada siapa manusia minta pertolongan?

Bagi Camus, dalam ketakberdayaan manusia seharusnya memberontak mencari pelbagai upaya untuk mengakhiri pagebluk ini. Namun yang menyedihkan terkadang manusia menggunakan Tuhan sebagai penjelasan atas ketadakberdayaannya.

Maka mungkin yang dibutuhkan ialah bertemu Tuhan langsung (baca: mati), tetapi sebagaimana kata Camus, ketika itu sudah tak berarti lagi.

Di dalam menghadapi kontradiksi, kata Camus yang dibutuhkan manusia ialah berjuang keras untuk mengakhiri penderitaannya meski menyadari ketaksempurnaannya.

Dengan kata lain meski manusia mengetahui ketaksempurnaannya tapi tak berarti boleh menyerah. Manusia harus memberontak atas ketakberdayaannya. Karena keajaiban tidak jatuh dari langit.

Dalam hal ini, sikap kemasabodohan terhadap pagebluk yang semakin hari semakin membesar, seperti tak lagi mengharapkan akhir pertempuran, melalaikan protokol kesehatan, mengambil paksa jenazah pasien Covid (tanpa mempersiapkan diri terhadap penularan).

Maka di situlah letak bahaya sesungguhnya akibat kelalaian mereka dalam menghadapi pandemi. Mereka bertaruh dengan keberuntungan, sementara keberuntungan sendiri tak dapat dijadikan jaminan.

Berserah diri dalam pengertian Camus ialah mempersilahkan hidup menghadapi ketegangan atau kontradiksi lalu memberontak untuk melampauinya.

“Apakah Anda kira sampar akan berhenti begitu saja? Tiba-tiba? Tanpa memberi tahu?” Begitu Cottard bertanya kepada dokter Rieux.

Tetapi ia bukan mewakili  relawan, agamawan, padagang, wartawan, atau warga Oran, melainkan seorang pengambil manfaat, pengambil kesempatan dalam kesempitan, dan manusia egois di dalam menghadapi sampar. 

| Penulis adalah dosen fisip Universitas Lampung/mahasiswa S3 Universiti Utara Malaysia.