Analisis Hukum Kasus Ferdy Sambo

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

SELAMA tiga bulan terakhir berita nasional sibuk mempersoalkan peristiwa pembunuhan polisi oleh polisi yang menyita perhatian bukan kalangan internal saja melainkan juga dari pihak eksternal domestik dan pers negara lain.

Tokoh yang berpengaruh yaitu Presiden Joko Widodo dan Menkopolhukan, Profesor Mahfud MD telah memberikan perhatian serius atas peristiwa tersebut. Peristiwa tersebut telah merontokkan posisi Polri yang telah menempati ranking tertinggi dibandingkan Kejaksaan dan KPK sekaligus dimaknai bahwa tingkat kepercayaan masyarkat mencapai titik-nadir; dan belum lama berselang juga peristiwa IJP Teddy Minahasa(TM) yang diduga terlibat yang telah di duga menggelapkan bukti jenis sabu telah menambah parah Institusi Polri, karena dengan pangkat perwira tinggi sulit diterima akal sehat masyarkat pada umumnya.

Polri sedang didera musibah Allah Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak sepantasnya jika kita hanya “bangga” dengan menghujat semata melainkan diperlukan kebijakan wawasan dan pola pikir dalam melihat dan mengkaji peristiwa-peristiwa tersebut. Untuk mencapai kajian yang benar pasti tanpa asumsi serta dengan tujuan memberikan pencerahan kepada masyarakat luas  perlu melakukan kajian dari aspek hukum pidana.

Hukum pidana telah mengajarkan bahwa, memuat ketentuan larangan dan sanksi juga sarat mengandung asas-asas hukum selain asas legalitas, asas hukum bahwa proses pemeriksaan suatu dugaan tindak pidana sampai dengan sidang pemeriksaan perkara harus -tidak boleh dikurangi apalagi dilebih-lebihkan- didasarkan ketentuan sebagaimana dicantumkan dalam Undang-undang; contoh ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 Undang-undang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Asas hukum penting diketahui masyarakat bahwa seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai kemudian dibuktikan sebaliknya; asas bahwa terhadap seseorang, dilarang dilakukan penuntutan dua kali untuk perkara yang sama yang telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.  

Asas hukum, non-retroaktif, asas hukum tidak berlaku surut; focus pada tempus delicti, hukum hanya dapat diberlakukan untuk peristiwa setelah hukum diberlakukan kecuali asas retro aktif menguntungkan terdakwa misal, peraturan peralihan dimana hukum yang lama telah digantikan dengan hukum yang baru ternyata merugikan kepentingan terdakwa dibandingkan dengan hukum yang lama; maka hukum yang lama yang wajib diberlakukan terhadap terdakwa.

Dalam menetapkan status tersangka dalam perkara pidana, APH wajib memperhatikan selain tersangka ybs juga situasi yang terjadi disekeliling tersangka misalnya apakah peristiwa pidana terjadi dalam keadaan terpaksa, atau dalam keadaan tersangka diperintah oleh atasannya atau tersangka dalam keadaan sakit jiwa, apakah tersangka masih di bawah umur, apakah peristiwa pidana terjadi karena pembelaan terpaksa, melakukan perbuatan pidana karena perintah jabatan.

Kasus FS diduga merupakan tindak pidana pembunuhan, direncanakan (Pasal 340 KUHP) atau tidak direncanakan (Psl 338 KUHP); Jaksa Penuntut telah mendakwa FS dkk dengan Pasal 340 KUHP dakwaan primair dan Pasal 338 KUHP, dengan dakwaan Subsider disertai Pasal 55 ayat ke 1 sub 1 KUHP, mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan.

Dakwaan Jaksa Penuntut sangat masuk logika hukum sesuai dengan fakta terdapat lebih dari satu orang yang terlibat. Dan keterangan saksi-saksi yang diperoleh dalam tahap penyelidikan/penyidikan. Selain keterangan saksi-saksi juga diperoleh bukti forensik balistik dan otopsi mayat korban Brigadir J.

Memperhatikan sidang di PN Jakarta Selatan telah melalui tiga minggu dengan terdakwa FS, PC, RR, RE, dan KM dan beberapa saksi-saksi tampak jelas dan terang perkara tersebut telah memenuhi syarat formil dan syarat materiel dari surat dakwaan (Pasal143 ayat (2)) KUHAP.

Dalam sidang sejak dibacakan dakwaan, eksepsi Penasehat Hukum keempat terdakwa, memasuki materi perkara yang didakwakan yang sesugguhnya tidak termasuk wilayah eksepsi suatu dakwaan, tidak memenuhi syarat formil. Dalam surat dakwaan terhadap FS jaksa telah menguraikan peranan FS dan PC,KM, RR dan RE serta perencanaan yang telah dipersiapkan sekitar 3-4 jam sebelum terjadi pembunuhan.  

Mengenai hukuman tergantung penilaian majelis hakim terhadap seluruh keterangan saksi dan persesuaian keteterangan satu sama lain dan bukti- bukti yang diperlihatkan penuntut di persidangan serta nota pembelaan penasehat hukum. Untuk sementara dapat ditarik kesimpulan bahwa, pertama, tindak pidana pembunuhan direncanakan telah terbukti, kedua, pelaku adalah FS, pelaku peserta, E dan PC; RR dan KM sebagai pembantuan.

Hukuman terberat dalam perkara ini adalah pidana mati atau seumur hidup dan pidana penjara paling lama,20 tahun. Perkiraan tersebut berdasarkan bukti dann keterangan saksi-saksi serta situasi yang terjadi sekitar terjadinya pembunuhan terhadap Josua. Alasan perintah jabatan (Pasal 51 KUHP) merupakan celah hukum untuk meloloskan dari dakwaan pembunuhan berencana atau meringankan hukuman bagi E, RR dn KM. Yang menjadi pertanyaan dan mengganjal adalah, mengapa J (korban) harus (ditembak) sampai dengan mati hanya karena akibat pelecehan (pengakuan  PC) sedangkan tenggat waktu antara mendengar laporan pelecehan dari PC sampai penembakan korban (mati) memerlukan waktu 24 jam lebih; masih ada tenggat waktu untuk melanjutkan rencana semula (pembunuhan) atau tidak melanjutkan.

Fakta persidangan bahwa perbuatan pidana yaitu pembunuhan terhadap J, korban telah dipersiapkan serta direncanakan terlebih dulu dengan matang, siapa penembak dan siapa pembackup FS. Terdapat hubungan yang tidak logis antara niat membunuh FS terhadap J hanya dengan alasan mendengar PC (isterinya) yang konon tengah pisah ranjang; oleh J dan dalam hukum, merupakan testimonium de auditu, satu saksi saja bukan saksi yang memiliki legal standing sebagai bukti. Kedua, tidak satupun saksi- saksi yang dihadirkan memberikan keterangan bahwa mereka melihat, mendengar dan mengalami peristiwa pelecehan terhadap PC di lokasi magelang.

Memperhatikan fakta- fakta tersebut menunjukkan bahwa dugaan pelecahan tidak terbukti dengan kata lain, keterangan/alasan FS membunuh J korban tidak beralasan secara hukum. Analisis hukum tidak berhenti di sini melainkan kewajiban moral hakim menggali hal- hal di balik pembunuhan J seorang pembantu setia dan loyal bukan hanya kepad FS akan tetapi juga kepada PC, isteri FS dan telah lama mengabdi kepada keluarga FS. Perkara FS akan tetap misterius jika selama sidang penyebab kematian J oleh FS tidak terungkap.

| Penulis adalah Gurubesar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad).