Anies dan Pola Demokrasi di Indonesia

Anies Baswedan
Anies Baswedan

BANYAK yang memfitnah Anies sebagai pendukung Daulah Khilafah. Sebuah konsepsi kepemimpinan politik Islam ala Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani. Konsepsi ini diperjuangkan oleh partai global yang bernama Hizbut Tahrir. Di Indonesia dikenal dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini dilarang di berbagai negara. Termasuk juga di Indonesia.

Menko Polhukam Wiranto pada waktu itu mengemukakan alasan pembubaran HTI pada 19 Juli 2017, sebagai berikut:

Pertama, pemerintah menilai sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.

Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, sebagaimana diatur dalam Undang Undang 17/2013 tentang Ormas.

Ketiga, aktivitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada saat sejumlah awak media meminta tanggapan soal pembubaran HTI di atas, Anies dengan tegas menolak untuk dikait-kaitkan dengan HTI. Ia dan HTI tak memiliki hubungan apa-apa. Apalagi, sempat beredar unggahan kontrak politik di media sosial pada 17 September 2020.

Unggahan akun FB atas nama Idah Nurhayati tersebut setelah ditelusuri ternyata hoax. Sebab, tanda tangan Anies pada kontrak politik itu adalah palsu. Semua ini bagian dari black campaign (kampanye hitam) pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Daklarasi Anies sebagai calon presiden oleh eks HTI dan FPI pada 10 Juni 2022 di Hotel Bidakara Jakarta, dianggap untuk down grade popularitasnya. Ini disetting untuk menjelekkan Anies sehingga lekat dalam persepsi publik bahwa Anies merupakan calon yang disokong oleh pendukung Daulah Khilafah yang ingin merubah NKRI.

Padahal, sistem Khilafah Islamiyyah dengan sistem presidensil seperti minyak dan air yang mustahil bercampur dalam senyawa. Sistem pertama menggunakan mekanisme baiat ammah. Sedangkan yang disebut terakhir melalui pemilihan langsung rakyat.

Faham Khilafah menolak demokrasi dan mengharamkan pemilu. Ini jelas tertera dalam buku Abdul Qadeem Zallum, "Demokrasi Sistem Kufur, Haram Mengambil, Menerapkan dan Menyebarluaskan" (Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 1994).

Buku ini merupakan kitab babon dari partai HT dunia yang merupakan terjemahan dari "Dimuqrathiyah Nizham Kufr: Yahrumu Akhdzuha aw Tathbiquha aw Ad-Da’watu Ilaiha" yang melarang para pengikutnya mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan demokrasi.

Jadi, sangat terang, pendukung khilafah tak mungkin berkompromi, apalagi memanipulasi doktrin politik Zallum yang merupakan pemimpin HT dunia. Mereka bukan pengikut setia. Boleh jadi, mereka pendukung abal-abal yang punya hidden agenda di luar tegak dan berdirinya Khilafah Islamiyyah global di Indonesia.

Anies selama ini tak dikenal sebagai pengikut, pendukung atau pembela Khilafah Islamiyyah. Alih-alih mendukung, ia dalam perdebatan sengit hubungan Islam dan negara tak pernah terlibat. Tak ada satu pun cuplikan tulisan atau ceramahnya yang membahas Negara Islam.

Anies adalah mahasiswa dekade akhir 80-an dan awal 90-an yang telah dimatangkan oleh hegemoni demetologisasi Negara Islam. Ini masa akomodasi Islam dan negara di era Orde Baru. Setelah keduanya melewati masa antagonis dan resiprokal kritis di masa kepemimpinan Pak Harto.

Di tengah runtuhnya mitos politik santri, Anies didewasakan oleh masuknya elite Islam dalam pemerintahan dan elit penguasa yang bergairah dalam beragama. Suatu kejayaan pemikiran Keislaman dan keindonesiaan dalam satu tarikan nafas.

Ini masa keemasan pemikiran moderat Islam Indonesia yang melupakan pertentangan ideologis dan politis antara Islam satu sisi dan Pancasila di sisi lain.

Anies melanjutkan jejak pemikiran Cak Nur dalam pengembangan demokrasi. Sehingga, ia memilih tugas akhir dalam menyelesaikan studi strata 3-nya dengan mengangkat soal otonomi daerah dan pola demokrasi di Indonesia.

| Penulis adalah Pendiri Eksan Institute.