Anne Frank

Foto: teguhtimur.com/
Foto: teguhtimur.com/

4 AGUSTUS 1944, sekitar pukul 10.30 pagi, sebuah mobil berisi serdadu Schutzstaffeln (SS) Nazi Jerman dan polisi rahasia Belanda berhenti di depan sebuah gedung di Jalan Prinsengracht, Amsterdam. Mereka naik ke tingkat empat, menuju Ruang Rahasia (Annex Secret) di bagian belakang.

Di ruang rahasia itu, selama dua tahun terakhir keluarga Yahudi-Belanda, Otto Frank, istri dan dua anaknya, beserta empat kerabat mereka, bersembunyi dari incaran pasukan Nazi yang tengah memburu orang Yahudi.

Keluarga Otto dibawa ke kamp konsentrasi Auschwitz, di Polandia. Bulan Oktober 1944, dua anak mereka, Margot Frank dan Anne Frank, dipindahkan ke kamp konsentrasi Bergen Belsen di dekat Hannover, Jerman.

Januari 1945 sang ibu, Edith Frank, meninggal di Auschwitz. Sementara Margot dan Anne meninggal di Bergen Belsen sekitar akhir Februari atau awal Maret 1945, hanya sebulan sebelum pasukan Inggris merebut kamp itu dari tangan Nazi pada 12 April 1945.

Otto bertahan hidup di neraka Auschwitz hingga Perang Dunia Kedua berakhir bulan Mei 1945. Setelah dibebaskan pasukan Sekutu dia kembali ke Amsterdam. Tahun 1953 Otto pindah ke Basel, Switzerland dan menikah dengan Elfriede Markovitz Geiringer, asal Vienna. Seperti Otto, Elfriede juga berhasil bertahan di Auschwitz, dan kehilangan suami serta seorang putra. Agustus 1980, Otto meninggal dunia karena sakit dan usia tua.

Keluarga Otto Frank menjadi terkenal setelah catatan harian Anne Frank yang diselamatkan kerabat mereka diterbitkan sebagai buku tahun 1947. Catatan harian itu ditulis Anne selama masa persembunyian di Prinsengracht.

Kisah Anne yang tewas di usia 15 tahun begitu lekat dengan kisah Bergen Belsen, dan sebaliknya. Di aula tamu Bergen Belsen yang kini menjadi museum, Anda bisa menemukan catatan harian Anne yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Selain tentu saja Anda bisa menyaksikan replika kamp Bergen Belsen, dan parade foto-foto yang memperlihatkan kondisi menyedihkan para tawanan dan ribuan mayat yang bergelimpangan begitu saja di atas tanah Bergen Belsen.

Saya mengunjungi Bergen Belsen tanggal 7 Mei lalu bersama seluruh peserta seminar Freedom of Press and Freedom of Information yang digelar Friedrich Naumann Stiftung. Tak banyak yang tersisa dari kamp itu, kecuali kuburan massal di sana-sini. Setiap kuburan massal memiliki nisan yang menyebut jumlah perkiraan mayat yang dikuburkan di dalamnya.

Kini pohon-pohon tumbuh rindang. Sulit membayangkan kalau di tempat itu, 60 tahun lalu puluhan ribu mayat berserakan. Saat merebut Bergen Belsen dari tangan Nazi, pasukan Inggris menemukan puluhan ribu mayat tak terurus. Tawanan sudah kehabisan tenaga untuk mengubur teman dan kerabat mereka yang meninggal. Sementara pasukan SS Jerman sudah tak peduli lagi dengan nasib tawanan, setelah mereka menangkap sinyal kuat akan kekalahan mereka.

Oleh pasukan Inggris, mayat-mayat yang telah busuk dan tak bisa dikenali itu disorong pakai bulldozers ke lubang kubur. Setelah itu semua bangunan di Bergen Belsen dibumihanguskan agar wabah penyakit tak menyebar.

Bekas lokasi barak-barak tawanan kini ditumbuhi rumput sehingga lebih mirip lapangan besar. Di tengah lapangan, puluhan nisan berdiri tanpa makam, termasuk nisan untuk Anne dan kakaknya, Margot.

Di sayap kiri berdiri sebuah monumen untuk mengenang kekejaman pada masa Holocaust. Menjelang peringatan 60 tahun berakhirnya Perang Dunia Kedua di Eropa, ratusan peziarah, sebagian adalah korban dan keluarga korban, dari berbagai negara datang. Di tempat itu mereka meletakkan karangan bunga atau sekadar batu koral.

Di bawah rintik hujan, kami dibawa sang guide berkeliling dari satu kuburan massal ke kuburan massal lainnya. Selain kuburan massal yang tersisa adalah reruntuhan kakus umum tawanan. Di tempat itu tawanan tidak hanya membuang hajat, tetapi juga bertukar cerita dengan sesama tawanan yang berasal dari barak yang berbeda. Kini di sekitar reruntuhan kakus umum itu dapat disaksikan batu bata bertuliskan nama-nama tawanan kamp.

Selain toilet kami dibawa ke reruntuhan dapur umum dan tempat penampungan air yang ada di belakangnya. Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Gedung Sunyi yang dibangun beberapa tahun lalu. Di dalam gedung itu, para peziarah disarankan merenung, sambil duduk di kursi kayu, tentang betapa kejamnya perang itu, dan seterusnya.

Beberapa catatan mengatakan, selain memiliki kamar gas Bergen Belsen juga memiliki laboratorium untuk menguji formula kimia yang ditemukan pasukan Nazi. Tawanan anak-anak biasanya mereka jadikan kelinci percobaan.

Tapi bukan hanya orang Yahudi yang disekap di tempat itu. Dari sekitar 30 ribu orang yang diperkirakan tewas di Bergen Belsen, di antaranya adalah orang Roma (Gipsy), kaum lesbian dan homoseksual yang dianggap kontra-revolusi, serta orang-orang cacat dan lumpuh yang dianggap melemahkan doktrin Ubber Alles yang dipercaya Hitler dan pengikutnya.

Kini setelah 60 tahun Holocaust berlalu, bagaimana hubungan Jerman dan Israel, negara orang Yahudi? Rakyat Merdeka, 22 Mei 2005. 

| Penulis adalah wartawan.