Atasi Masalah Pertanahan

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

APA yang dikhawatirkan oleh penulis pada tahun lalu terjadi (dalam tulisan "Mengupas Dugaan Mafia Tanah Menyasar Ibu Dino Patti Jalal") . Modus operandi perihal berbagai kejahatan dalam persoalan kepemilikan tanah akhirnya terkuak.

Terhitung sampai hari ini beberapa aparatur Badan Pertanahan Nasional (BPN) ditangkap dan ditetapkan oleh Kepolisian Republik Indonesia sebagai tersangka.

Hal ini perlu menjadi perhatian khusus Kementrian ATR/BPN. Sebab soal tanah, bagi manusia, adalah soal hidup dan mati. Manusia diciptakan dari tanah, untuk hidup perlu tanah, menjalani hari-hari di atas tanah, hingga wafatpun berada di pangkuan tanah. Beberapa Masyarakat Adat di Indonesia pun, jika ingin dikaitkan dengan adat ketimuran, memiliki keyakinan serupa perihal tanah.

Problem Pendaftaran Tanah

Problem pertanahan rata-rata terjadi pada proses pendaftaran tanah, baik pertama kali maupun pemeliharaan data pendaftaran tanah. Adanya sengketa akibat dualisme kepemilikan, adanya perbedaan persepsi masyarakat terkait "kepemilikan tanah", dan munculnya sertifikat tanpa ada pendahuluan yang cukup terkait kepemilikan tanah, adalah hal-hal yang biasa muncul dalam proses pendaftaran tanah.

Untuk problem yang begitu kompleks dalam pendaftaran tanah, sejauh ini Kementrian BPN/ATR tidak memiliki mekanisme penyelesaian yang cukup. Mekanisme tersebut sejauh pengetahuan penulis lengkapnya diatur dalam Permen Agraria/BPN 9/1999.

Setiap ada permasalahan karena pendaftaran tanah (cacat administrasi) maka para pihak, atau pejabat yang berwenang tanpa perlu permohonan, dapat mengajukan pembatalan penerbitan sertifikat.

Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud adalah kesalahan prosedur, kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan, kesalahan subjek hak, kesalahan objek hak, kesalahan jenis hak, kesalahan perhitungan luas, terdapat tumpang tindih hak atas tanah, data yuridis atau data data fisik tidak benar, atau kesalahan lainnya yang bersifat administratif.

Perlunya Kewenangan Quasi Yudisial

Sejauh ini model penyelesaian permasalahan tanah yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN, terkait cacat administrasi, terkesan monoton. Monoton hanya sebatas mencocokan kronologi riwayat tanah dan data yang mendukung kronologi tersebut.

Para pihak yang bersengketa pun tidak dihadirkan laiknya pemberian kesaksian di pengadilan. Akibatnya untuk hal-hal yang substansial seperti sengketa kepemilikan tanah maka penyelesaian tersebut dilakukan di PTUN dan Pengadilan Negeri.

Permasalahan pokoknya adalah ketika cacat administratif itu harus diselesaikan di PTUN maupun Pengadilan Negeri maka arah penyelesaian sengketanya kemudian berubah menjadi formalistik. PTUN maupun Pengadilan Negeri hanya melihat sebatas kesesuaian data fisik dan data yuridis.

Data sosiologis seperti adanya kemungkinan kepemilikan tanah dengan etika baik, asal muasal tanah secara historis yang bersinggungan dengan petani dan Masyarakat Adat, kepemilikan tanah yang absolut tanpa memperhatikan fungsi sosial, dan perubahan fungsi tanah karena terdapat pembebanan hak pakai oleh Kementrian/Lembaga yang kemudian terkadang membuat penggarap dipidana, kurang memperoleh perhatian.

Permasalahan selanjutnya adalah soal eksekusi status tanah pasca putusan yang terkadang menggantung karena lamanya proses di berbagai tingkatan peradilan (Tingkat Pertama, Banding, Kasasi). Keadilan dan kepastian hukum pun tertunda.

Lembaga Pengawasan Pertanahan dan Reforma Agraria

Untuk alasan itu sudah sepatutnya Pemerintah membentuk Lembaga Pengawas Pertanahan dan Reforma Agraria. Lembaga ini nantinya memiliki kewenangan berupa kewenangan quasi yudisial. Quasi yudisial itu nantinya diperuntukkan bagi sengketa cacat administrasi terkait pertanahan (sebagaimana disebutkan Pasal 107  Permen Agraria/BPN 9/1999) di luar perkara perbuatan melawan hukum ataupun wanprestasi.

Lembaga Pengawas Pertanahan dan Reforma Agraria nantinya diisi oleh praktisi maupun akademisi dengan satu perwakilan dari Kementrian ATR/BPN yang menggeluti persoalan pertanahan. Tujuannya agar permasalahan pertanahan itu tidak dilihat hanya dari sisi yuridis an sich tetapi juga dari sisi historis dan sosiologis.

Asas mendengar kedua belah pihak dan imparsial pun dipergunakan. Hal ini penting mengingat filosofi pertanahan, sejarah pertanahan, dan aktivitas pertanahan di Indonesia sudah berlangsung lama, sudah jauh, bahkan sebelum adanya UUPA itu sendiri.

Untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian, maka limitasi penyelesaian perkara cacat administrasi di bidang pertanahan oleh Lembaga Pengawas Pertanahan dan Reforma Agraria waktunya pun perlu ditentukan.

Quasi yudisial yang dilakukan Lembaga Pengawas Pertanahan dan Reforma Agraria ini nantinya perlu mengadopsi speedy trial atau peradilan cepat. Selain cepat peradilannya harus diatur pula waktu pelaksanaan putusannya agar cepat pula eksekusi oleh Kementrian ATR/BPN nya.

Penulis menilai munculnya Lembaga Pengawas Pertanahan dan Reforma Agraria adalah solusi di bidang pertanahan di Indonesia. Solusi yang tidak hanya mampu menyelesaikan permasalahan substansial di bidang pertanahan tetapi juga mengurangi beban kerja Peradilan di bawah Mahkamah Agung.

| Penulis adalah Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta.