Ayam Pun Dibajak Oligarki

Ilustrasi: SCMP.
Ilustrasi: SCMP.

INGAT flu burung, pasti ingat ayam. Bagaimana unggas, terutama ayam, di Indonesia dimusnahkan karena takut flu burung menular pada manusia. Nah, sekarang flu sudah bertransformasi menjadi corona yang mematikan,  namun tidak jelas, dan masih menjadi misteri, ini flu jenis apa lagi.

Walaupun flu burung dan flu  aneh-aneh terus mewabah, menjadi pandemi, menjadi epidemi, namun praktek bisnis ayam di Indonesia tetap menjadi bisnis yang paling menggiurkan. Terutama bagi korporasi raksasa, bagi oligarki kekuasaan politik.

Bayangkan saja, dua perusahaan besar menguasai 70 persen rantai suplai ayam, mulai dari impor induk ayam, impor anak ayam, impor vaksin ayam, impor antibiotik ayam, impor pakan, hingga menguasai seluruh jaringan produksi, jaringan distribusi. Bahkan jalur pemasaran di kampung dan pasar becek dikuasai segelintir korporasi multinasional raksasa.

Mereka, perusahaan multinasional, oligarki Indonesia, adalah penguasa sebenarnya yang mengontrol  pusat kekuasan politik, parlemen dan birokrasi negara yang berkaitan dengan  ayam, perunggasan, peternakan, pertanian. Sama halnya seperti mereka menguasai rantai suplai bahan pokok, industri farmasi, sumber energi, dan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia lainnya.

Bagaimana mungkin dua perusahaan komersial asing bersama oligarki Indonesia  mengontrol secara dominatif dan eksploitatif ayam sebagai sumber  makanan setiap hari masyarakat,  yang konsumsinya boleh jadi sudah mengejar dan mendekati nilai konsumsi listrik atau bahan bakar minyak. Ini benar benar pasar bebas yang mengerikan: pangan dikontrol oligarki. 

Semua  ini bisa terjadi disebabkan regulasi pertanian,  peternakan, perdagangan, yang sangat buruk, yang  mendesain birokrasi  kekuasan di Indonesia menjadi korup, dapat diletakkan  berada di bawah ketiak pengusaha ternak multinasional. 

Birokrasi kekuasaan didesain agar doyan uang sogokan, meskipun ada regulasi yang tampaknya baik, namun ternyata regulasi ini gampang diperjual belikan, diabaikan, karena ketidakberdayaan pengelola negara pada pengusaha besar yang ringan tangan menjalankan tekanan politik menggunakan uang.  Ini tampak nyata dalam hal regulasi pembatasan pasokan ayam ke pasar  baru - baru ini. (Akan dibahas dalam artikel berikutnya).

Hasilnya perusahaan raksasa yang pada dasarnya—didalam batinnya,  hendak mematikan seluruh usaha usaha kecil yang dianggap menggangu,  dapat dengan mudah  mewujudkan tujuan utamanya  yakni agar tidak sepeserpun uang yang tertinggal di kantong pengusaha kecil, semuanya harus mengalir secara sistematis ke gudang penyimpanan uang perusahaan besar. 

Bayangkan saja, perusahaan ayam kelas raksasa ini, dengan ijin khusus yang diberikan pemerintah, mereka mengendalikan impor induk ayam dalam rangka menghasilkan benih ayam, sehingga mereka memegang kunci utama untuk menguasai bisnis ayam. 

Karena dengan penguasaan benih dan  bibit ayam inilah, fondasi dasar bisnis peternakan dapat dikendalikan. Bibit adalah kunci bangsa ini berdaulat atas pangan atau tidak. Jika bibit ayam diserahkan dan dikuasai  perusahaan swasta, maka selesailah urusan ini, urusan ternak ayam ini telah berada dalam kontrol korporasi secara monopolistik. 

Menguasai pembibitan ayam menjadikan mereka selanjutnya secara penuh mengontrol vaksin ayam dan  obat - obatan ayam. Hanya vaksin dan antibiotik yang mereka produksi yang cocok buat ayam - ayam ini. 

Selain itu  menguasai bibit akan menjadi alat kendali untuk menentukan makanan apa yang boleh dimakan oleh ayam - ayam ini, termasuk ayam para peternak kecil. Maka jadilah korporasi raksasa ayam sebagai pemasok sebagian besar makanan ayam ke seluruh negeri. Para peternak kecil maupun menengah menjadi peliharaan dengan segala macam ketergantungan pada korporasi raksasa ayam.

Sampai disitu ternyata belum cukup juga. Pengusaha ternak skala kecil yang kekurangan uang, akan dibelit oleh korporasi raksasa ayam yang menyaru dermawan untuk memberikan utang, berupa utang bibit ayam, utang vaksin ayam, utang obat - obatan ayam, dan utang pakan ayam. Bahkan  utang buat bikin kandang, dan lain lain. Para peternak kecil harus berhutang  kepada bank dengan suku bunga selangit. Betapa nestapa dan nistanya peternak kecil di negeri ini.

Maka habislah para peternak kecil itu. Saat perusahaan besar mengontrol segala-galanya dalam rantai suplai ayam,  maka setiap perak uang yang masuk ke kantong peternak kecil tidak lebih dari belas kasihan saja agar tidak terlalu cepat mati. 

Pada bagian lain Pemerintah masih tetap berdiam diri, menikmati,  duduk manis, ketika satu per satu atau secara serempak para peternak kecil sesak nafas dan bangkrut. Menteri, beserta seluruh aparatur  pemerintahan tidak berbuat apa apa.

| Penulis adalah pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).