Banda Aceh Belum jadi Kota Layak Anak, Eksploitasi Anak Salah satu Penyebab

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

Sebagai Ibu Kota Provinsi, saat ini Kota Banda Aceh sedang menuju Kota Layak Anak. Dari tahun 2015 sampai tahun 2017, Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh berkomitmen dan terus melaksanakan kebijakan menuju kota layak anak.


"Karena di seluruh Indonesia kota layak anak itu belum ada, peringkat tertinggi masih di pegang oleh tiga kota yakni Surabaya, Solo dan Denpasar itu peringkat utama, Banda Aceh masih di bawahnya," ujar Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AB2KP Banda Aceh, Risda Zuraida, kepada Kantor Berita RMOLAceh, Jumat, 7 April 2023. 

Menurut Risda, masih banyak persoalan yang harus perbaiki serta memikirkan strategi untuk mewujudkan Banda Aceh menjadi kota layak anak. Saat ini Pemko terus berbenah karena untuk menuju kota layak anak.

Agar terwujudnya Kota layak anak di sebuah wilayah, maka harus melibatkan empat elemen masyarakat, yaitu Pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan media,untuk sama-sama berkomitmen bergerak melakukan upaya pemenuhan hak anak dan membantu mereka terhindar dari segala bentuk kekerasan, perbuatan salah maupun diskriminasi.

"Memang belum ada kota yang layak anak secara paripurna, di semua daerah sedang berbenah. Beda daerah beda tantangnya," ujar Risda.

Risda mencontohkan salah satu penyebab terhambatnya gelar kota layak anak itu karena persoalan ekploitasi anak di Kota Banda Aceh kerap terjadi. Padahal para oknum pelaku Ekploitasi anak tersebut bukan merupakan warga Banda Aceh.

"Mereka berganti modus dari tadinya mengemis sekarang berjualan, hal ini dilakukan karena Ibu Kota Provinsi tidak boleh ada yang mengemis," ujar Risda.

Risda juga menjelaskan saat ini banyak orang tua yang mengekploitasi anak untuk berjualan, untuk penangganan yang sesuai dengan kebijakan, sudah berulang kali dikakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP). Petugas Satpol PP melakukan penjaringan gepeng, kemudian ditempatkan di rumah singgah milik Dinas Sosial (Dinsos) lalu diberi pembinaan.

"Setelahnya dipulangkan kembali ke keluarga, kemudian kasus berulang kembali terjadi," ujar Risda.

Menurut Risda, DP3A Kota Banda Aceh bersama DP3A Provinsi telah melakukan upaya pemetaan di beberapa tempat yang sering terjadi eksploitasi anak oleh keluarga.

"Bisa dipastikan hampir 80 sampai 90 persen mereka bukan warga Banda Aceh tapi warga yang datang dari luar Banda Aceh, sebagian besar datang dari Aceh Besar dan berdomisili di Neuheun," ujarnya. 

Namun demikian, Risda menyebutkan ada satu keluarga yang merupakan warga Banda Aceh dan sudah dilakukan pembinaan berulang serta mendapat bantuan sosial. Akan tetapi mereka lebih senang berjualan di jalan memanfatkan empati masyarakat untuk membeli dagangan mereka.

"Nah itu juga sudah berulang, upaya dilakukan oleh Dinsos yang memang fokus untuk gepeng dan seterusnya, belum juga tuntas," ujar Risda.

Risda menyebutkan pihaknya bersama DP3A terus mendata latar belakang yang menyebabkan orang tua mengeksploitasi anak. Data tersebut sudah diserahkan kepada Dinsos Aceh dan Ibu PKK Provinsi Aceh untuk diambil langkah strategis, karena persoalan ini dinilai sebagai kasus yang kompleks.

"Setelah dua kali pertemuan maka dalam waktu dekat akan diambil langkah untuk penanganan yang akan melibatkan kepolisian dan Pemerintah Aceh Besar serta beberapa pihak terkait lainnya," ujar Risda.

Menurut Risda, pemerintah harus memikirkan formula atau strategi baru untuk mengatasi kasus ekploitasi anak ini, sebab kebijakan yang ada, tidak mempu menjawab secara tuntas persoalan. Kemudian harus dilakukan berimbang, seperti masyarakat juga ikut diberikan edukasi agar tidak berbelanja di lampu merah karena para oknum ini memanfaatkan rasa iba dan empati.

"Jadi kami beranggapan, jika tidak ada yang berbelanja mereka akan jenuh dan lelah karena berjualan tidak ditempatnya," ujar Risda.