Banda Aceh Tak Layak Disebut Kota Layak Anak dan Perempuan

Banda Aceh. Foto: pinterest.
Banda Aceh. Foto: pinterest.

Hari Perempuan Sedunia atau Internasional Women's Day merupakan hari dimana dirayakannya pencapaian wanita dalam berbagai bidang dari mulai sosial, ekonomi, budaya hingga politik. Namun anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Kasumi Sulaiman, mengatakan pemenuhan hak perempuan dan anak di Banda Aceh masih belum maksimal dijalankan.


"Pemenuhan hak perempuan dan anak di Kota Banda Aceh selama ini belum maksimal seperti apa yang kita harapkan," kata Kasumi Sulaiman kepada Kantor Berita RMOLAceh, Rabu, 10 Maret 2021.

Menurut anggota Komisi IV DPRK Banda Aceh ini, Ibu Kota Aceh ini masih belum layak dikatakan kota ramah terhadap perempuan dan anak. Selama ini, kata Kasumi masih terdapat sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

"Selama ini banyak terjadi KDRT, pembunuhan terhadap perempuan, pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak," ujarnya.

Oleh karena itu, peran pemerintah serta stakeholder terkait bersama orang tua sangat penting, guna meminimalisir tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh, khususnya di Kota Gemilang.

"Imbauan terkait perlindungan perempuan dan anak diharapkan orang tua berperan aktif menjaga anak dan keluarga dimana pun berada," kata politikus Partai Golkar ini.

Pesan dalam kampanye ini adalah melawan ketidaksetaraan, bias, dan stereotip terhadap kaum hawa juga siap membantu terwujudnya dunia yang inklusif.

Kampanye ini diharapkan dapat menjadi ajakan positif bagi semua pihak, tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki untuk turut serta menciptakan dunia yang ramah terhadap perempuan.

Sementara itu, Direktur Flower Aceh, Riswati menyebutkan persoalan perempuan di Aceh masih banyak terjadi. Terlebih, hingga saat ini sudah 26 kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh yang terjadi sepanjang 2021. 

"Grafiknya terus naik, kasus masih banyak. Jadi persoalan-persoalan perempuan di Aceh itu masih banyak terjadi. Dan itu masih menjadi kebiasaan di komunitas kita. Jadi si korban sudah jadi korban, terus mendapat stigma negatif lagi dari komunitas," kata Riswati.