Belajar dari Afghanistan

Peta Afganistan. Foto: net.
Peta Afganistan. Foto: net.

DAHULU ketika melihat petir-petir merambat ke pucuk-pucuk pohon atau atap-atap rumah, kita mungkin percaya bahwa ia mengejar setan-setan yang tengah lari tunggang langgang ke sana ke mari.

Tetapi, ketika manusia telah menemukan pucuk besi penangkal petir, maka penjelasan itu (petir sebagai ‘penanda’ dan setan ‘petanda’) sudah tak masuk di nalar. Ini terjadi, meminjam teori Kuntowijoyo, karena manusia telah memasuki periode ilmu.

Namun bagi suatu negara, memasuki periode ilmu membutuhkan waktu tak sebentar: melampaui periode mitos dan ideologi.

Pada konteks ini, seseorang atau suatu generasi bisa begitu saja tercelup atau dicelupkan ke dalamnya, diantaranya melalui intervensi pendidikan. Karena hal paling mendasar dari fungsi pendidikan adalah mengaktifkan nalar: berkat nalar manusia bisa  menilai dan tak gampang dibohongi.

Dalam kaitan itu, perkembangan politik di Afghanistan mengagetkan dunia setelah pasukan Taliban berhasil mengambilalih kota Kabul dan kantor kepresidenan.

Dalam dinamika itu, masalah pendidikan tak kalah menyita perhatian karena akan selalu menyertainya. Satu contoh, ketika Taliban berkuasa (1996-2001) kaum perempuan tak memiliki akses terhadap pendidikan.

Baru setelah Taliban digulingkan, kondisi berubah: kaum perempuan menikmati pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.

Tetapi ketika Taliban kembali berkuasa, ketakutan terhadap pembatasan akses pendidikan pun mengemuka, karena sangat mungkin petaka itu akan berulang. Di bawah kekuasaan Taliban anak-anak perempuan dilarang pergi ke sekolah.

Dengan kata lain, kemungkinan pendidikan di Afghanistan akan kembali memasuki turbulensi lama terjebak di antara periode ideologi dan mitos hanyalah soal waktu.  

Sekilas, perbedaan antara ideologi dan mitos terletak pada; dalam mitos orang bergerak mengikuti kehendak Sang Pemimpin (namun hanya modal prasangka). Sementara ideologi adalah merujuk pada sistem pendapat, nilai, dan pengetahuan yang berhubungan dengan kepentingan kelas tertentu dengan cara berfikir yang tak bisa diseragamkan.

Dalam mitos orang tak peduli ada tidaknya realitas karena yang utama adalah mengikuti pendapat pemimpin.

Sementara dalam idologi orang melihat realitas berdasarkan subjektivitas, dan tak peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi (Kuntowijoyo, MataBangsa: 2017).

Pada konteks ini, periode ilmu adalah sebuah fase yang menjungkirbalikkan kedua periode sebelumnya dengan memandang realitas apa adanya.

Namun untuk mencapai fase ketiga tersebut tidaklah mudah, salah satu contohnya Afganistan tadi.

Di bawah rezim Taliban, budaya mengontrol hidup dengan kekerasan yang sudah mendarah daging mematikan daya nalar. Sebab, pendidikan yang menekankan keterbukaan nalar hanya bisa hidup di alam merdeka: di bawah moncong senjata manusia hanyalah seonggok daging yang rapuh.

Dan betapapun Taliban telah berjanji akan memberikan kebebasan itu, “Mereka akan mendapatkan semua haknya, mulai dari hak untuk memperoleh pendidikan hingga hak untuk bekerja, sesuai dengan hukum Islam” (Kompas: 25 Februari 2020). Namun orang-orang masih skeptis terhadap pernyataan tersebut.

Sampai di sini belajar dari Afghanistan, sungguh beruntung Indonesia. Betapapun dihuni beragam suku bangsa, agama, dan pelbagai mitos dan ideologinya namun hingga ini masih berdaulat sebagai negara-bangsa yang aman dan merdeka.

Tidak hanya itu, Indonesia juga turut mengambil peran menciptakan perdamaian dunia.

| Penulis adalah dosen fisip Universitas Lampung dan mahasiswa S3 Universiti Utara Malaysia.