Berkaca dari Kinerja Pertamina

Ilustrasi
Ilustrasi

PELAJARAN paling berharga tentang pengelolaan ekonomi Indonesia datang dari Pertamina, sebuah cara yang menyimpang dari kaidah-kaidah yang lazim dalam hal menimbun utang.

Seentara pada saat yang sama pendapatan dan penjualan perusahaan menurun, belanja perusahaan juga menurun, namun anehnya utang meningkat sangat pesat. Utang komersial dengan biaya sangat mahal, ditumpuk ditengah kelesuan ekonomi.

Padahal Pertamina sendiri tidak melihat adanya kesempatan meningkatkan pendapatan,  utamanya dari penjualan BBM di era pandemi, yang sekaligus era transisi energi akibat perubahan iklim, serta era  digitalisasi dalam seluruh lini ekonomi yang mengurangi konsumsi energi migas secara otomatis.

Bayangkan saja, Pertamina perusahaan minyak raksasa, mendapatkan kondisi paling buruk antara tahun 2018 sampai dengan tahun 2020. Pergantian direktur Pertamina 2018 tidak membawa perbaikan pada kinerja keuangan perusahaan. Setelah lebih satu dekade gagal membangun infrastruktur kilang satupun.

Saat ini, Pertamina dihantam pendinginan ekonomi paling parah akibat covid 19. Penurunan penjualan BBM dan pendapatan Pertamina menurun sekitar US$16,6 miliar atau sekitar Rp250 an triliun pada tahun 2020, dibandingkan keadaan tahun 2018.

Sisi lain pertamina ditopang dari utang baru untuk membiayai perusahaan. Boleh jadi untuk gaji, tunjangan dan bonus direksi. Pertanyaannya, tambahan utang sangat besar itu untuk membiayai keperluan apa?

Padahal belanja Pertamina sendiri mengalami penurunan significant. Untuk tahun 2021 belanja Pertamina dipangkas Rp80 triliun, disaat pengumuman rencana global bond baru US$20 miliar.

Patut dipertamyakkan utang Pertamina bertambah dari global bond saja senilai US$7,1 miliar atau sekitar Rp105 triliun tdalam periode 2018 -2021. Sembari kita menunggu berapa global bond yang ditambah kembali dalam akhir tahun ini dalam rangka mengatasi keadaan keuangan yang collaps. Namun yang jelas tambahan global bond di tengah melemahnya bisnis BBM pertamina perlu dipertanyakkan penggunaannya secara jelas.

Berkurangnya pendapatan dan penjualan serta berkuranya belanja pada satu sisi, sementara pada sisi lain ada peningkatan significant dalam global bond dan utang pertamina. Hal ini menimbulkan pertanyaan ekonomi politik yang cukup penting,  mengindikasikan bahwa masa depan perusahaan sedang dalam bahaya. Sedikit lebih berbahaya  dengan keadaan yang sedang dihadapi ekonomi indonesia. Sebagaimana  diketahui bahwa global bond Pertamina dikatakan di bawah jaminan penuh pemerintah.

Perlu dipahami bahwa keadaan Pertamina adalah ukuran ril keadaan ekonomi Indonesia saat ini. Penjualan BBM merupakan indikator utama untuk melihat apakah industri dan mobilitas ekonomi sedang berjalan atau tengah lumpuh.

Menjadi masalah ketika dalam keadaan lumpuh, namun membiayai badannya dengan timbunan utang. Siapa yang akan bayar beban ini di masa depan? Sementara nilai perusahaan di masa depan dikonsumsi oleh pengurus perusahaan di masa sekarang.

Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).