Bersikap Toleran Merayakan Perbedaan  

Ilustrasi. Foto: ist.
Ilustrasi. Foto: ist.

GADUH soal larangan sholat Idul Fitri di lapangan di dua kota di Indonesia usai sudah. Akhirnya, Menteri Agama RI mengeluarkan edaran terkait Penyelenggaraan Hari Raya Idul Fitri 1444 H/2023 M.

Melalui Surat Edaran Menag No SE 05 Tahun 2023. Salah satu point terpenting dalam SE tertanggal 18 April ini adalah agar umat Islam tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dalam menyikapi kemungkinan perbedaan penetapan 1 Syawal 1444 H. Selain itu, edaran ini juga menegaskan sikap pemerintah yang memberikan kesempatan untuk melaksanakan sholat Idul Fitri di masjid, musholla dan lapangan dengan tetap menggunakan protokol kesehatan.

Salah satu point terpenting dalam Surat Edaran tertanggal 18 April ini adalah agar umat Islam tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dalam menyikapi kemungkinan perbedaan penetapan 1 Syawal 1444 H. Ini menepis tuduhan banyak pihak bahwa pemerintah anti perbedaan. Adalah tak mungkin, moderasi beragama yang digaungkan Pemerintah RI berbalik dengan sikap-sikap yang intoleran, baik internal maupun eksternal antar umat beragama. Idul Fitri kali ini adalah batu ujian terhadap praktik moderasi beragama di negeri ini.

Demikian juga, point penting lainnya bahwa pemerintah memberikan kesempatan umat Islam untuk melaksanakan sholat Idul Fitri 1444 H baik di masjid, musholla dan lapangan dengan tetap menggunakan protokol kesehatan. Point kedua ini menjadi penting selain juga menepis anggapan bahwa pemerintah menolak ormas tertentu menggunakan fasilitas lapangan untuk pelaksanaan Idul Fitri. Pemerintah bersikap netral dan memberikan kebebasan umat beragama untuk menjalankan agamanya sesuai dengan konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 28 E. 

Dus, Surat Edaran itu melegakan banyak pihak. Surat Edaran itu juga menunjukkan bahwa toleransi, kerukunan dan persatuan adalah pilar utama bangunan bangsa dan negeri ini.

Pemerintah memang punya hak isbat. Artinya, satu-satunya  yang berhak menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, adalah pemerintah. Itulah makanya Pemerintah—dalam hal ini Kementerian Agama RI –menyelenggarakan sidang isbat pada tanggal 20 April 2023 ini dan awal Ramadhan satu bulan yang silam.  Sidang isbat ini melibatkan berbagai ormas, para duta besar negara shabat, LAPAN, BRIN, BMKG dan Tim Unifikasi Kalender Hijriah Kemenag RI.

Hasil sidang isbat ini harus diikuiti oleh semua umat Islam di Indonesia tanpa kecuali, sesuai kaidah fiqh: hukmul hakim ilzamun wa yarfaul khilafa. Penetapan hakim itu mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat para ulama. Dalam terma fiqh, sidang isbat ini memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat pada seluruh masyarakat Indonesia. Jika sudah ditetapkan, maka sudah tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang fiqh.

Sidang isbat, pada level yang lebih tinggi, juga disebut qadla. Qadla adalah ketetapan pemerintah tentang suatu hukum. Ketetapan hukum ini harus diikuti sebagai bentuk ketaatan umat Islam pada Ulil Amri. Sebagaimana firman Allah Swt: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59).

Sementara itu, ormas seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan ormas sejenis memiliki hak ikhbar. Hak ikhbar adalah hak untuk mengkhabarkan perihal awal Ramadhan, Syawal, dan awal Dzulhijah untuk diikuti para anggota ormas tersebut. Berbeda dengan isbat atau qadla, hak ikhbar tidak mengikat dan hanya berlaku internal. Nahdlatul Ulama misalnya bisa mengkhabarkan hasil rukyatnya di suatu tempat pada pengikutnya, namun NU tidak punya hak untuk menetapkan hari raya yang berlaku bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Demikian juga Muhammadiyah dapat mengkabarkan kapan tanggal 1 Syawal, namun tidak berhak menetapkan 1 Syawal yang menjadi domainnya pemerintah.     

Dalam konteks ini, maka menjadi penting penegasan bahwa isbat adalah domainnya pemerintah dan ikhbar adalah domainnya ormas. Ormas tidak boleh melampau domainnya misalnya mengambil hak isbat Pemerintah. Sebaliknya, pemerintah tidak boleh lemah dengan memposisikan isbatnya sebagai ikhbar yang tidak berkuatan dan mengikat pada seluruh masyarakat Indonesia.  Kita harus menempatkan isbat dan ikhbar secara proporsional pada tempatnya.

Meski memiliki hak isbat, pemerintah Indonesia masih terbilang moderat. Buktinya, pemerintah masih memberikan ruang perbedaan dengan memberikan kebebasan umat Islam dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Ketika terjadi pelarangan penggunakan lapangan sholat Idul Fitri di Sukabumi dan Pekalongan, Gus Yaqut –sebagai Menteri Agama RI --langsung menegur kepala daerah yang bersangkutan dan agar mengakomodir aspirasi masyarakat tersebut.

Sikap toleran inilah yang semestinya menjadi teladan umat Islam. Meskipun mayoritas umat Islam berhari raya mengikuti pemerintah, namun mereka harus bersikap toleran terhadap ormas atau orang yang merayakan hari raya Idul Fitri berbeda. Toleransi adalah solusi bersikap menghadapi perbedaan, sebagaimana maqalah ulama : Laula mukhalafata lama musaafata, seandainya tidak ada perbedaan, maka tidak ada toleransi. Kita semua belajar toleran dalam merayakan perbedaan khususnya di tahun 1444 H ini.   

Lebih lanjut, sikap toleran ini harus diikuti oleh Ormas yang berhari raya pada hari Jumat, untuk bersikap tenggang rasa baik pada pemerintah maupun masyarakat lain yang berhari raya pada hari Sabtu. Ormas ini harus juga memahami bahwa Hari Sabtu nanti pemerintah dan ormas lain akan menyelenggarakan sholat Idul Fitri dan perayaan lainnya. Idul Fitri, dengan demikian, akan  menjadi indah dengan perbedaan.  Karena, kita semua telah siap bersikap toleran dalam merayakan perbedaan.

Akhirnya, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Penulis merupakan Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember.