Blunder Dek Fad

Gerindra. Foto: ist.
Gerindra. Foto: ist.

ADA apa dengan Ketua Gerindra Aceh, Fadhlullah alias Dek Fad? Mengapa sampai terjadi blunder?

Pertanyaan itu bukan karena kritiknya terhadap Pj Gubernur Aceh. Siapapun terbuka untuk menyampaikan kritik. Kritik itu bagaikan pil, walau pahit tetap berguna bagi mengakhiri keluhan kesehatan.

Tapi, ketika sekaliber Dek Fad yang sudah menjadi politisi level nasional masih meminjam narasi kritik yang kerap digunakan oleh politisi level lokal, maka patut diduga kritik yang dilemparkan hanya sebatas untuk memperlihatkan sisi heroiknya.

Di Aceh, harus diakui politik heroik memang masih sangat memikat. Siapa saja yang mengkritik penguasa maka otomatis dikesankan berani, dan rame ureung dibeudoh bule-merinding-saat mendengarnya. Meugurangsang meunan.

Kritik terhadap kemiskinan di Aceh sambil menunjuk batang hidung eksekutif sudah menjadi tren di Aceh yang terus menerus dikemukakan sejak 2007. Dengan mengangkat isu kemiskinan, ada yang terpilih jadi gubernur dan ada pula yang meraih kursi di legislatif.

Tapi, faktanya sejak dana otsus membanjiri Aceh, bahkan sejak orang-orang Aceh berkesempatan menakhodai Pemerintahan Aceh, angka kemiskinan di Aceh masih juga belum tuntas-tuntas. Mengapa?

Selama politik anggaran masih diperlakukan secara politik kepentingan elit maka uang yang ada, sebanyak apapun, tidak akan berhasil menuntaskan angka kemiskinan.

Politik kepentingan itu terlihat secara kasat mata pada operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya.

Dan, secara tidak kasat mata terbaca dari politik perlakuan anggaran (APBA) yang dipecah-pecah untuk “mendingunkan” suhu politik. Daripada karu ka keuh pake rumus padum bata padum bate….

Padahal, jika kemiskinan memang sejatinya hendak dituntaskan maka kata kunci dan tokoh kuncinya tidaklah tunggal, alias melibatkan peran serta semua Forkopimda Aceh, termasuk partai politik.

Dan, disinilah melengkapi blunder Dek Fad ketika menyinggung bahwa semua unsur Forkopimda, termasuk Pj Gubernrur Aceh, bukan orang Aceh dengan argumen kekhususan dan keistimewaan Aceh.

Pernyataan itu, tidak cukup kredibel diungkap oleh seorang politisi berkaliber nasional. Pikiran jadi terbawa ke hasil survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia (LSI) 18 tahun lalu.

Sentimen keacehan dalam arti sempit yang dilempar oleh Dek Fad itu seolah membenarkan temuan LSI kala itu yang mengungkap betapa rendahnya nasionalisme Indonesia, yaitu 42 persen.

Padahal, politisi Gerindra, sebagaimana terbaca pada sosok Prabowo, sangatlah nasionalis. Bahkan, secara politik mempraktekkan laku politik yang mementingkan persaudaraan ketimbang politik perseteruan.

Hal itu terbaca dari sikap politik Prabowo yang walaupun menjadi rival abadi dalam Pilpres namun untuk menghindari perpecahan, Prabowo bersedia bergabung menjadi tim Presiden Jokowi.

Andai praktek politik itu dibawa ke Aceh maka harusnya gebrakan pertama yang dilakukan oleh Gerindra Aceh dibawah ketua baru adalah melakukan konsolidasi politik Gerindra semesta Aceh untuk merumuskan peta jalan politik Gerindra membawa Aceh menuju kejayaannya.

Dan ketika rumusan peta jalan itu diperjuangkan secara politik di DPRA dan di DPR Ri, didukung partai Gerindra, dan dibackup penuh oleh Prabowo dan menteri-menterinya, baro pah ta peugah: “Nyan baro bereh!”

|Penulis adalah pemerhati politik Aceh.