Buntut Putusan Bebas SUR, KPPAA Tuntut Penghapusan Dua Pasal Qanun Jinayat

Ilustrasi: Ali Express.
Ilustrasi: Ali Express.

Komisioner Komisi pengawasan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Firdaus Nyak Idin, mengatakan ada beberapa pasal dalam Qanun Jinayat yang tidak tepat diterapkan terhadap predator seksual.  Hal ini menjadi titik lemah dalam penegakan hukum syariat Islam.


"Pilihan utama kita adalah untuk mencabut atau menghapus sama sekali pasal 47 dan pasal 50. Sehingga secara otomatis penanganan kekerasan seksual terhadap anak akan kembali ke UU Perlindungan Anak," kata Firdaus, Sabtu, 9 Oktober 2021.

Pernyataan ini disampaikan Firdaus merespons sejumlah putusan Mahkamah Syariah yang membebaskan pelaku kekerasan seksual. Firdaus mengatakan pasal 47 dan 50 harus dicabut karena hukuman cambuk dalam kedua pasal tersebut berpotensi gagal dilaksanakan karena berbagai alasan. 

Firdaus mengatakan ukubah cambuk terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat saja dibatalkan dengan alasan sakit atau berusia lanjut. Bahkan dalam sejumlah kasus, pencambukan gagal dilakukan karena ketiadaan anggaran. 

Lantas, pelaku dipulangkan sementara ke rumah yang memungkinkan dia kembali mendekati korban. Kejadian seperti ini, kata Firdaus, menyebabkan korban semakin trauma dan depresi. Bukan tidak mungkin korban mendapatkan teror dari pelaku, atau pelaku mengulangi lagi perbuatan bejatnya.

Andai hukuman cambuk dijalankan, setelah pelaku kembali ke komunitas, besar kemungkinan dia dan korban bertemu. Situasi ini sangat buruk bagi korban.

Firdaus juga menyampaikan pasal lain yang patut untuk dikritisi dan direvisi adalah pasal 34, pasal 63 ayat 3 dan pasal 64 ayat 3 dalam Qanun Jinayat. Pasal-pasal itu memuat ketentuan tentang kasus zina, sodomi dan lesbian. 

Aturan ini, kata dia, membuka ruang kekejian terhadap anak. Dalam aturan itu, anak, selaku korban, dapat berubah status menjadi pelaku dan juga berpotensi untuk mendapatkan hukuman cambuk.