Cerita Sugeng, Merantau hingga Sukses jadi Pengusaha Tahu di Banda Aceh

Aktivitas produksi tahu di pabrik Usaha Tahu Solo, Banda Aceh. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.
Aktivitas produksi tahu di pabrik Usaha Tahu Solo, Banda Aceh. Foto: Helena Sari/RMOLAceh.

Asap putih terlihat mengepul dari sebuah kompor tanah tempat usaha tahu di salah satu wilayah pinggiran kota Banda Aceh. Bunyi api dari corong bawah tanah saat pagi hari terdengar jelas, bersamaan dengan riuh para pekerja saling menyemangati di tempat produksi bernama "Usaha Tahu Solo" tersebut.


Saat di kunjungi wartawan RMOLAceh, para pekerja tampak saling berteriak  mengingatkan teman-temannya untuk memasukkan kedelai ke mesin penggilingan. Sebagian pekerja lainnya sibuk mengaduk bubur kedelai, lalu yang lain focus menyaring sari pati.

“Bubur sudah menggumpal, waktunya cetak,” kata Fajri (24) salah seorang pekerja di lokasi tersebut mengarahkan rekannya bernama M Nasir (29) untuk mencetak tahu dengan teknik cetak bungkus.

Kedelai yang sudah siap direndam dan mulai digiling untuk mendapat sari pati. Foto: Helena Sari/RMOLAceh. 

Usaha tahu tempat Fajri dan Nasir bekerja merupakan milik Sugeng Widodo (58). Usaha Tahu Solo terletak di jalan jalan Pinggir Kali, Punge Blang Cut, Jaya Baru, Kota Banda Aceh. Di lokasi ini teknik cetak bungkus tahu dilakukan dengan bantuan alat pres.

Sebelumnya bubur tahu dilapisi dengan kain blacu tipis, pencetakan dilakukan selama 30 menit untuk setiap satu kali masak. Setelah proses selesai maka kain belacu yang dipakai kemudian dilepaskan. Tahu dengan kandungan protein nabati tinggi ini kemudian siap dipasarkan ke seluruh Provinsi Aceh.

Kompor dan corong besar untuk memasak sari kedelai untuk pembuatan tahu. Foto: Helena Sari/RMOLAceh. 

Sugeng, sang pemilik  menceritakan bahwa pabrik tahumiliknya sudah berdiri kurang lebih selama 26 tahun lamanya. Tahun 1997, Sugeng berdarah asli Solo Jawa Tengah datang merantau ke Aceh untuk berdagang. Saat itu dia melihat usaha tahu memiliki prospek besar untuk didirikan di Aceh.

Berbekal ilmu dan pengalaman yang dimilikinya, menghabiskan modal sebanyak Rp 20 Juta untuk membuka pabrik tahu. Saat itu, usahanya berjalan lancar, belum ada pesaing.

“Mulai berdagang kecil-kecilan, kebetulan ada pengalaman dan coba-coba,” kata Sugeng di lokasi usahanya kepada Kantor Berita RMOLAceh, Jumat, 24 Februari 2023

Seiring berjalannya waktu, pabrik tahu milik Sugeng terus berkembang. Namun beberapa tahun kemudian bencana Tsunami datang menyapu bersih usaha tahu yang saat itu berlokasi tidak jauh dari pabrik tahu saat ini ada. Musibah tersebut tidak membuat pria paruh baya yang sudah memiliki dua anak dan empat orang cucu ini mundur.

Bantuan kemanusiaan dari Radio Republik Indonesia (RRI) paska Tsunami membuatnya kembali bisa membuka usaha yang sebelumnya sudah hancur.

“Dulu pas Tsunami parah, usaha habis semua, dan buka lagi setelah semua kondisi mulai aman, kira-kira dua tiga tahun kemudian,” kata Sugeng.

Kegagalan demi kegagalan pernah dilewati Sugeng, namun dirinya tetap optimis, apalagi saat ini pesaing sudah mulai banyak. Bahkan rata-rata pendiri pabrik tahu saat ini merupakan pekerja yang dulunya bekerja di pabrik milik Sugeng.

Sugeng mengatakan bahwa pada tahun 1997, pabrik tahu miliknya bisa menghabiskan 200 kilogram kedelai dalam sekali produksi. Saat itu hanya ada empat pabrik di Aceh.

"Sekarang sudah ada belasan pabrik tapi bisa habis sampai 400 kilogram sekali produksi,” kata Sugeng yang mengaku keuntungan dari penjualan sudah cukup untuk membeli apapun yang dia inginkan.

Sugeng mengaku, pembeli tidak hanya berasal dari Aceh Besar dan Kota Banda Aceh saja, bahkan Aceh Selatan hingga Gayo Lues ikut memesan langsung pada Sugeng. Menurutnya kepercayaan konsumen pada produknya menjadi prioritas utama.

“Kalau di Daerah itu belum ada pabrik di situ kita jual, sekarang sudah ada pabrik mereka ada yang order di kita ada yang sudah berhenti, toke-nya di daerah itu adalah anak buah kita, mereka sudah punya pengalaman dan membuka usaha sendiri,” kata dia.

Sugeng mengaku bahwa proses pendistribusian tahu dari pabrik miliknya sama saja seperti biasanya. Saat ada pembeli, maka akan dilayani dengan dua sistem bisa dikirim dan membeli langsung ke pabrik.

Seorang pekerja di pabrik Usaha tahu Solo sedang mengemas tahu untuk didistribusikan. Foto: Helena Sari/RMOLAceh. 

“Tahu ini kebutuhan juga, kita tidak berhenti saat orang (konsumen) masih perlu kita jual, contoh kayak orang mau buat pesta pasti perlu tahu banyak,” kata Sugeng yang kini sudah mendirikan pabrik di tanah sendiri.

Selain untuk kebutuhan acara besar, Sugeng mengatakan peminat tahu didominasi oleh pelaku usaha kuliner dan perdagangan kebutuhan dapur. Bahkan orderan per harinya bisa sampai 200 cetakan dengan menghabiskan 400 kilogram kedelai.

Saat ini ada enam orang pekerja yang sudah mulai memproduksi tahu sejak pukul 8.00 WIB pagi hingga selesai. Satu cetakan yang berisi 100 potong tahu dibanderol dengan harga Rp 50 Ribu.

“Kadang kalau pembeli datang langsung bisa kita karting (negosiasi) harga,” kata Sugeng.

Sugeng mengaku masih cukup kuat mengelola pabrik, meskipun dirinya telah melewati pasang surut perjalanan dalam membuka lapangan pekerjaan selama puluhan tahun di Aceh. Dia juga menceritakan bagaimana kondisi ketika pandemi Covid-19. 

Saat pabrik lain menghentikan produksi dan merumahkan para pekerja, namun Sugeng tetap mempertahankan mereka, walaupun harus menghadapi resiko besar di mana minat pembeli berkurang karena keterbatasan gerak masyarakat saat itu.

“Keuntungan perbulan puluhan juta, namanya juga pedagang semua tempat kita jelajahi Sulawesi semua sudah dan saya berakhir di Aceh dihentikan oleh masyarakatnya yang ramah,” ujar Sugeng tanpa mau menyebutkan berapa omzet perbulan yang dia peroleh dari usahanya itu.