Dalam Hal Tolak Vaksin, Aceh Berkerabat Dengan Rusia

Ilustrasi: Beyond Celiac.
Ilustrasi: Beyond Celiac.

SEIRING dengan realisasi vaksinasi nasional untuk Covid-19 dilaksanakan , merebak pula hasil survei tingkat penerimaan publik terhadap upaya pengendalian wabah itu. Salah satu hasil survei yang hangat dibicarakan adalah tentang tingkat penerimaan masyarakat Aceh yang menempati ranking terendah nasional, yakni 46 persen menerima dan 54 persen menolak. Mudah-mudahan hasil survey itu tidak langsung diterjemahkan sebagai “kekhususan” Aceh  yang luar biasa. 

Survei yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan  dan ITAGI - Indonesian Technical Advisory Group on Immunization UNICEF dan WHO menemukan mayoritas masyarakat Indonesia menerima bila disuntik vaksin virus corona. Selanjutnya survei juga menjelaskan tingkat penerimaan vaksin berbeda di tiap propinsi. Papua Barat dan sejumlah propinsi di Jawa berada pada tingkat penerimaan tertinggi, sedangkan Aceh berada posisi terendah  dan beberapa propinsi lain di Sumatera dan Sulawesi.

Sebenarnya angka 54 persen masyarakat Aceh menolak vaksin bukanlah sesuatu yang membuat Aceh menjadi contoh ekstrim, karena angka itu terbalik dengan Rusia yang menerima vaksinasi dan 46 persen menolak untuk vaksinasi. Intinya ada kekerabatan kelompok penolak di dunia. Di dunia, Rusia juara yang menolak vaksin, di Indonesia Aceh yang menjadi juaranya.

Sebenarnya tidak hanya Aceh dan Rusia yang menempati ranking teratas yang menolak vaksinasi Covid-19. Propinsi Alberta di Kanada juga menjadi ikut ke dalam kelompok itu. Alberta adalah propinsi terendah dalam survei Kanada yang menunjukkan masyarakatnya hanya 48 persen yang mau vaksinasi. Namun, pada saat yang sama ada 28 persen lainnya yang menyatakan akan ikut vaksinasi Covid-19 setelah beberapa waktu, sambil melihat perkembangan vaksinasi dalam perjalanan waktu nantinya.

Yang dimaksud mungkin menyangkut dengan tingkat keampuhan dari vaksin, yang lagi-lagi mungkin akan terkait erat dengan merek vaksin yang tersedia, baik via pemerintah maupun melalui pihak penyelengara kesehatan swasta. Menariknya di Kanada, sekalipun tergolong negara maju, jumlah orang yang menyatakan tidak akan vaksinasi  mempunyai persentase yang lumayan tinggi, 20 persen, yang berarti 1 dari 5 orang Kanada tidak akan pernah mau ikut vaksinasi.

Perhatian serius sebenarnya tidak hanya harus diberikan kepada masyarakat luas, tetapi juga kepada kalangan penyedia jasa pelayanan perawatan kesehatan. Publikasi MedRxix (2021) seminggu yang lalu misalnya dari  survei yang melibatkan 3.500 pekerja Kesehatan AS ditemukan tingkat penerimaan vaksin Covid-19 cenderung rendah. 50 persen di antara mereka berpendapat vaksinasi  adalah pilihan ptibadi yang tidak dapat dipaksakan. Survei juga menemukan  56 persen cenderung menunggu melihat perkembangan dan keamanan vaksinasi beberapa waktu yang akan datang dengan sebaran 3 bulan, 6 bulan, dan satu tahun. Hanya satu di antara tiga dari pekerja Kesehatan AS itu yang siap vaksinasi, jika vaksinnya tersedia.

Keengganan pekerja kesehatan untuk menerima vaksin tidak hanya monopoli pekerja kesehatan AS, akan tetapi juga luas tersebar di Jerman dan Perancis. Harian Financial Times beberapa waktu yang lalu memberitakan tentang situasi penerimaan vaksin dikalangan pekerja kesehatan tiga negara penting Eropa. 50 persen perawat Jerman, berikut 25 persen dokter tidak mau divaksinasi. Di Perancis juga dilaporkan 76 persen perawat kesehatan di rumah jompo juga tidak mau divaksinasi. Di salah satu kawasan Austria juga dilaporkan hanya setengah dari pekerja kesehatan yang mau menerima vaksin Covid-19.

Dari gambaran tingkat penerimaan vaksin publik dan pekerja kesehatan, dapat disimpulkan bahwa persoalan penolakan vaksin, bahkan di kalangan pekerja kesehatan pun tetap saja mendapatkan penolakan, tentu saja dengan bermacam alasan, mulai dari tidak berbasis pengetahuan, sampai dengan yang berbasis pengetahuan. Sebenarnya, penolakan vaksin bahkan gerakan penolakan vaksin sama usianya dengan vaksin itu sendiri. Vaksin yang dalam sejarahnya telah terbukti menjadi  senjata pamungkas melawan berbagai wabah, tetap saja mendapat perlawanan dari berbagai kalangan.

Semenjak Edward Jenner memperkenalkan vaksinasi cacar  pertama di dunia pada 1796, di Berkeley, Inggris, penolakan terhadap vaksin telah terjadi. Masyarakat Eropa pada masa itu melihat vaksinasi sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Tidak berhenti disitu, pada abad ke 19 di Inggris terbentuk sebuah Liga Anti Vaksin (Hussain&Ahmed 2018; Scheneider 2009). Gerakan anti vaksin bergema lagi pada tahun tujuhpuluhan karena ada laporan efek samping yang parah akibat vaksin DPT, walaupun kemudian terbukti tidak benar. Sejarah vaksinasi kemudian mencatat lagi gerakan besar anti vaksin MMR (Kolodziejski, 2014) karena dihubungkan dengan autis, dan bahkan  semenjak tahun 2000 sampai dengan hari ini berkembang rumor tentang efek buruk vaksin yang dapat menyebabkan kemandulan.

Di tengah merebaknya penolakan vaksin yang gencar di beberapa negara, terutama Rusia, Polandia, dan Perancis, terdapat juga negara yang mempunyai tingkat penerimaan vaksin yang sangat tinggi. Cina, India dan Korea Selatan, dan Brasil misalnya mencatat tingkat penerimaan vaksin yang sangat tinggi. Data yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (2020) pada bulan November 2020 menunjukan sejumlah negara dengan angka penerimaan vaksin Covid-19 tertinggi adalah India 87 persen, Cina 85 persen, Korea Selatan 83 persen, dan Brazil 81 persen. Sebagai catatan, tingkat penerimaan vaksin di Indonesia adalah 65 persen.

Penolakan terhadap vaksinasi sebenarnya lebih berasosiasi dengan penundaan penggunaan vaksin, ataupun penolakan total terhadap penggunaan vaksin oleh individu dan masyarakat. Alasannya cukup banyak mulai dari  pengaruh komunitas dan sosial budaya, persepsi dan variabel individu, agama dan kepercayaan, kelembagaan kesehatan, hal yang berkaitan dengan vaksin itu sendiri, dan  faktor ekonomi dan politik. Sudah dapat dipastikan tingkat literasi kesehatan masyarakat merupakan resultan dari sebagian atau semua hal di atas.

Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh terhadap tingkat penerimaan vaksin Covid-19, temuan survei global terhadap vaksinasi yang dilakukan oleh Lazarus dkk (2020), bulan Juni tahun lalu yang dipublikasikan oleh majalah Nature menemukan bahwa tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah sangat menentukan. Tingkat penerimaan tertinggi terdapat di negara Asia, terdiri dari pemerintah yang sangat otoriter Cina, dan sangat demokratis  India, dan  Korea Selatan. Temuan survei itu juga menyebutkan asosiasi antara penolakan vaksin dengan kepercayaan publik kepada pemerintah.

Tingginya angka penerimaan vaksinasi di negara itu berasosiasi dengan tingkat kepercayaan publik kepada pemerintahnya dengan index, Cina 90, India,  87, dan Korea Selatan 67  (Edelman Trust Barometer 2020). Indonesia sendiri yang mempunyai tingkat penerimaan vaksin 65 persen mempunyai  tangkat kepercayaan publik 67 persen. Sebaliknya negara-negara yang tingkat kepercayaan publiknya sangat rendah kepada pemerintah  berasosiasi dengan dengan tingkat penerimaan yang juga rendah terhadap penerimaan vaksinasi Covid-19. Publikasi Edelman Trust tentang kepercayaanb publik kepada pemerintah yang tergolong rendah itu adalah Rusia 30, Nigeria 55, dan Perancis 47.

Survei yang dilakukan berikut dengan kesimpuan yang dibuat oleh Lazarus dkk (2020) tentu saja bukanlah sebuah kesimpulan final tentang hubungan dengan  tingkat penerimaan vaksin dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Namun demikian cukup banyak bacaan yang menjelaskan tentang peran pemerintah sebagai prediktor penting dalam sejarah vaksinasi.

Menarik kesimpulan  tentang rendahnya tingkat penerimaan vaksinasi Covid-19 di Aceh atas dasar rendahnya kepercayaan publik kepada pemerintah dan pemerintah daerah tentu saja tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa. Hal ini sama memerlukan sebuah kajian yang mendalam agar dapat diketahui akar penyebabnya. Apalagi hipotesis rendahnya kepercayaan publik Aceh terhadap pemerintah daerah sudah berlansung semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor  11/2006 yang membawa berkah keuangan dan kewenangan untuk Aceh sampai dengan hari ini. Untuk saat ini cukup dengan satu catatan kaki bahwa dalam hal penerimaan vaksin, Aceh berkerabat dengan Rusia. Kalau di depan publik non Aceh, agar supaya jangan merasa inferior sebut saja Perancis juga ada dalam kekerabatan itu.

| Penulis adalah sosiolog dan guru besar fakultas pertanian Universitas Syiah Kuala