Dampak Deforestasi terhadap Bencana Hidrometeorologi di Aceh

Koordinator Observasi Stasiun Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Blang Bintang, Aceh Besar, Khairul Akbar. Foto: Razi/RMOLAceh.
Koordinator Observasi Stasiun Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Blang Bintang, Aceh Besar, Khairul Akbar. Foto: Razi/RMOLAceh.

Koordinator Observasi Stasiun Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Blang Bintang, Aceh Besar, Khairul Akbar, mengatakan bahwa pengaruh bencana sangat terkait dengan aspek meteorologi.


"Ya seperti munculnya anomali yang terjadi di wilayah Aceh itu erat kaitannya (dengan bencana)," kata Khairul Akbar, saat diskusi bertajuk "Deforestasi dan Bencana Hidrologi di Aceh" yang digelar di Kantor AJI Banda Aceh, Senin, 13 Februari 2023. 

Khairul menjelaskan, frekuensi bencana di Aceh semakin meningkat, menurut data-data yang ada dari badan penanggulangan bencana juga menyebutkan bahwa sudah semakin sering terjadi. 

"Bulan-bulan yang harusnya sudah masuk ke musim kemarau seperti sekarang, Januari Februari, tapi kita masih diwarnai bencana-bencana hidrologi," kata dia.

Dia menyebutkan, saat ini anomali-anomali itu sudah sering muncul. Misalnya seperti aliran dari pantai barat timur Afrika masuk ke wilayah barat. 

"BMKG hanya melihat dari aspek metereologi untuk melihat potensi-potensi bencana tadi," kata Khairul.

Khairul melihat, bahwa perubahan musim itu memang nyata terjadi dengan adanya perubahan tipe hujan atau zona musim di Aceh.

Dimana yang dulunya hanya ada lima zona musim, namun sekarang sudah menjadi 15 zona musim dan wilayah non-zom yang dulunya ada, sekarang sudah hilang.

"Inilah perubahan-perubahan yang memang terjadi dari analisis aspek metereologi maupun klimatologi dari curah hujan tadi," sebutnya. 

Menurutnya, pola-pola perubahan zona tersebut tidak mengenal musim kemarau. Kondisi perubahan tersebut terjadi tiba-tiba. Saat ini wilayah Aceh sudah punya dua puncak tipe curah hujan.

"Jadi ada trend kenaikan hujan sepanjang tahun dan ada penurunan di wilayah kita," kata dia.

Dia menyebutkan, perubahan iklim bukan variabilitas, akan tetapi kondisi itu sudah nyata adanya perubahan pola hujan. Kemudian meningkatnya frekuensi hujan ekstrim, adanya kenaikan muka laut akibat mencairnya es kutub. 

"Bahkan di dataran tinggi Papua juga sudah mulai berkurang tutupan esnya," ujarnya.