Desentralisasi Partai Politik

Ilustrasi
Ilustrasi

PEMILIHAN umum 2024 sudah tinggal satu tahun lagi, mengingat bahwa agenda pemilihan presiden dan calon legislatif dimulai tahun depan. Lembaga survei sudah hampir tiap hari mengumumkan siapa saja tokoh yang berpotensi besar menggantikan Presiden Joko Widodo, yang uniknya kebanyakan dari mereka bukanlah tokoh pemimpin atau pemilik partai politik.

Munculnya sosok-sosok calon presiden di luar partai politik adalah fenomena unik di Indonesia, mengingat di negara-negara yang demokrasinya sudah matang seluruh partai politik akan menentukan calon presidennya menggunakan konvensi, kaukus, kongres atau mekanisme organisasi lainnya yang sangat demokratis.

Misalnya sepopuler apapun Bernie Sanders di kalangan anak muda progresif Amerika, namun tokoh yang mendapuk dirinya seorang sosialis demokrat itu tidak memenangkan Konvensi Partai Demokrat 2016 dan 2020 yang menghasilkan Hillary Clinton dan Joe Biden sebagai Capres Partai Demokrat AS.

Padahal selayaknya partai politik menjadi wahana penyaluran aspirasi kepentingan politik rakyat yang ingin merebut kekuasaan dengan jalan pemilu. Memang tidak semua rakyat yang berpolitik ingin merebut kekuasaan, seperti misalnya civil society (masyarakat sipil atau masyarakat madani) yang hanya bekerja mengartikulasikan kepentingan politik tanpa ambisi meraih kekuasaan.

Tetapi, jika kita menginginkan alam demokrasi kita semakin beradab, maka jalan merebut kekuasaan yang baik melalui pemilu tentu harus mengikuti mekanisme demokrasi di partai politik.

Tapi tentu saja realitas partai politik kita jauh dari idealnya sebuah demokrasi yang bermartabat. Sudah lima ketua umum parpol yang ditangkap KPK karena kasus korupsi, termasuk bendahara, ketua partai di daerah.

Menurut jurnal integritas yang diterbitkan KPK pada Juni 2018, korupsi elit parpol ini terjadi karena defisit anggaran partai di mana pengeluaran jauh lebih besar dari pemasukan.

Situasi ini semakin diperburuk dengan munculnya figur-figur calon presiden di luar partai politik, yang tidak mau menempuh kaderisasi partai tetapi hendak berkuasa dengan jalan membeli partai bermodalkan kekuasaan dan sumber daya finansial lainnya.

Jadi sangat disayangkan sebagian kelompok yang mengklaim pro-demokrasi mendorong presidential threshold 0 persen dalam situasi politik seperti sekarang, artinya seorang elit dengan kekuatan oligarkinya dapat membeli partai-partai kecil jika ia tidak dicalonkan partai besar yang kaderisasinya sudah mapan.

Desentralisme Politik dan Pematangan Demokrasi

Problem utama partai politik kita memang kultur sentralisme figur ketua dengan koneksi dan sumber daya (termasuk jabatan politik) yang ia miliki. Sementara kebanyakan orang mengikuti partai dengan tujuan mencari jabatan (office seeking) atau sekadar proyek pengadaan negara untuk penghidupan alih-alih mendorong kebijakan (policy seeking) yang bermanfaat untuk publik. Kultur sentralisme ini tentu saja menyuburkan korupsi dan memundurkan demokrasi kita.

Tentu saja kultur sentralisme partai politik kita muncul dari kecenderungan kekuasaan negara yang hari ini semakin sentralistis dan mengabaikan spirit demokratisasi pasca Reformasi 1998 yang mencita-citakan penguatan masyarakat sipil melalui desentralisasi politik.

Kita bisa mengingat, pada awal reformasi berbagai ide muncul sebagai antitesis sentralisme Orde Baru seperti misalnya ide negara federal, agenda reforma agraria. Otonomi daerah adalah jalan tengah kompromi antara kelompok status quo dengan kelompok reformis, dan itupun hanya disempitkan pada tata kelola hubungan pusat dengan daerah.

Padahal seharusnya setelah reformasi, kultur politik kita diwarnai semangat desentralisme di segala tingkatan masyarakat politik. Partai politik dengan kultur desentralisme akan semakin mampu menjadi instrumen pematangan demokrasi.

Jadi pengambilan keputusan oleh partai tidak melulu berakhir dengan koor suara “siap ketua, mantap ketua, perintah ketua” saja. Partai dengan kultur desentralisme akan selalu mengambil keputusan apapun berdasarkan mekanisme demokrasi dari anggotanya yang paling bawah.

Apakah kita berhalusinasi dengan agenda desentralisme politik ini? Tidak. Memang hampir seluruh parpol tersentralisasi pada sosok pemimpin atau dinasti politik yang itu-itu saja, sehingga memunculkan fenomena sosok non-parpol. Namun kita pernah menyaksikan peristiwa Konvensi Capres Partai Golkar untuk Pemilu 2004 di mana saat itu Ketua Umum Akbar Tandjung justru kalah dari mantan Pangab Wiranto dalam mekanisme yang demokratis.

Golkar memang menjadi catatan penting dalam sejarah demokratisasi bangsa kita. Golkar pada awal Reformasi memiliki sosok Presiden Habibie yang berkomitmen penuh menjalankan agenda reformasi, diketuai Akbar Tandjung yang sukses mengubah Golkar menjadi partai yang demokratis.

Dan kita tidak bisa melupakan sosok Ketua MPR/DPR Harmoko yang apapun penilaian orang terhadapnya adalah sosok yang berperan penting menjadikan Golkar pada akhir masa Orde Baru menjadi semakin sipil dari sebelumnya didominasi militer. Sejak Reformasi hingga hari ini, Golkar sudah berganti ketua umum hampir tiap 5 tahun sekali.

Bayangkan jika partai-partai politik kita menjalankan mekanisme pengambilan keputusan berasaskan desentralisme politik. Misalkan Presiden Jokowi sedang berusaha menggolkan kebijakan kontroversial seperti RUU Omnibus Law atau pembangunan ibu kota negara baru.

Partai-partai politik akan membahas rancangan kebijakan tersebut dari kadernya di tingkatan paling bawah, entah RT/RW atau desa/kelurahan, lalu lanjut ke tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi hingga menjadi masukan bagi pengurus pusat. Bahkan masyarakat sipil terutama kelompok kepentingan dan penekan akan menjadi lebih fokus jika ingin terlibat dalam pembahasan kebijakan ini.

Desentralisasi Anggaran Pembiayaan Partai

Konsolidasi atau pematangan demokrasi hanya dimungkinkan dengan mengubah partai politik dengan kultur sentralisme dan mengandalkan sosok ketua, menjadi partai modern dengan kultur desentralisme dan kolektivisme kader partai. Caranya adalah dengan membuat anggaran partai politik menjadi terdesentralisasi.

Setiap kader memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menyumbang iuran untuk partai, baik ia memiliki jabatan politik eksekutif atau legislatif maupun tidak. Dan sumbangan perusahaan dibatasi ketat agar partai tidak lebih mengutamakan kepentingan pengusaha besar dibandingkan kepentingan rakyat banyak.

Pada awal Reformasi, UU no. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik sudah memiliki spirit demokrasi di mana di mana sumbangan untuk parpol dari perseorangan dibatasi Rp 15 juta dan perusahaan maksimal Rp 150 juta. Namun, batasan angka ini semakin meningkat dalam undang-undang parpol berikutnya. UU no. 31 tahun 2002 memberi batasan sumbangan perseorangan anggota dan non-anggota parpol sebesar Rp 200 juta dan perusahaan Rp 800 juta.

UU Parpol selanjutnya bahkan memberi wewenang kepada tiap parpol untuk menentukan besaran sumbangan individu anggota partai yang diatur dalam AD-ART masing-masing. Sementara batasan sumbangan individu non-anggota naik hingga Rp 1 miliar dan perusahaan naik menjadi Rp 4 miliar dalam UU no. 2/2008. Dalam UU no. 2/2011 yang berlaku hingga hari ini, batasan sumbangan perusahaan naik lagi hingga Rp 7 miliar.

Sistem pembiayaan partai seperti ini akan menyebabkan parpol menjadi semakin tergantung pada donasi korporasi dan strategi kartelisasi atau penguasaan sumber daya negara, seperti misalnya parpol tertentu menguasa kementerian tertentu untuk mengatur proyek-proyeknya.

Kartelisasi menyebabkan partai rawan korupsi dan deideologisasi. Partai pun semakin menjauh dari demokrasi karena menjadi alat kepentingan oligarki semata. Akibatnya, partai semakin menjauh dari para pemilihnya.

Maka sistem pembiayaan partai harus direformasi kembali dengan menyamakan besaran sumbangan perseorangan, dan membatasi sumbangan perusahaan dengan rendah. Untuk mengurangi defisit anggaran partai, maka UU Parpol selanjutnya perlu mengatur pendanaan publik menggunakan bantuan keuangan negara agar masyarakat sipil yang tidak berminat menjadi kader parpol dapat mengartikulasikan kepentingannya kepada parpol melalui dana publik. Konsekuensinya, partai-partai ini akan menggunakan dana publik untuk membiayai lembaga yang concern pada penguatan masyarakat sipil.

Contoh paling konkret adalah bagaimana partai-partai politik Jerman yang dibiayai oleh publik kemudian menyalurkan dana-dana tersebut kepada lembaga penyokong masyarakat sipil. Partai Demokrat Sosial Jerman (Sozialdemokratische Partei Deutschlands atau SPD) membiayai Friedrich Ebert Stiftung (FES), Uni Demokrasi Kristen (Christlich Demokratische Union Deutschlands atau CDU) berasosiasi dengan Konrad Adenauer Stiftung (KAS), dan Partai Demokrat Bebas (Freie Demokratische Partei) berasosiasi dengan Friedrich Naumann Stiftung (FNS).

Ketiga lembaga yang berafiliasi terhadap partai politik tersebut menyokong segala kegiatan dengan tujuan penguatan kapasitas masyarakat sipil tingkat global, termasuk Indonesia. Mereka melakukan kegiatan yang sama dengan National Democratic Institute (NDI) yang berafiliasi dengan Partai Demokrat Amerika Serikat namun tidak dibiayai anggaran federal karena Amerika tidak mengatur pembiayaan partai menggunakan bantuan negara.

Desentralisasi partai politik melalui jalan reformasi sistem pembiayaan dana publik tentu akan semakin demokratis jika melibatkan masyarakat sipil. Selain bermanfaat secara ekonomi karena meningkatkan belanja rakyat, pendanaan publik untuk membiayai partai akan meningkatkan partisipasi rakyat tidak hanya untuk memilih kandidat yang ditawarkan partai, tetapi juga mengawasi agenda publik yang dijanjikan partai. Parpol pun semakin demokratis dan akan semakin optimal menjalankan agenda demokratisasi.

Menatap Masa Depan Demokrasi Kita

Demokrasi akan semakin matang walaupun tidak akan pernah sempurna karena ia bersifat asimtotis. Proses konsolidasi demokrasi melalui peningkatan partisipasi rakyat dan desentralisasi politik akan semakin mendekatkan demokrasi kita menuju kesempurnaan meskinpun ia tidak akan pernah mencapai titik kesempurnaan.

Bayang-bayang oligarki yang mendominasi kehidupan politik kita adalah tantangan yang harus dihadapi dengan agenda aksi konkret dan tentu saja demokratis, bukan kemudian menjadi jalan untuk menghalalkan kembalinya sistem politik otoriter.

Mengandalkan perubahan politik agar semakin demokratis pada sosok yang dianggap reformis tidaklah cukup, bahkan sejarah sering menunjukkan kepada kita bahwa sosok-sosok seperti itu akhirnya kembali menipu rakyat. Maka jalan paling baik dalam mematangkan demokrasi kita adalah dengan memperkuat dan memperbesar partisipasi rakyat untuk selalu aktif mengambil keputusan demi kepentingan publik.

Bukankah itu esensi demokrasi kita? 

| Penulis adalah peneliti Independent Society (Indeso) dan mahasiswa S2 Ilmu Politik FISIP UI.