Di Balik Serangan Berdarah Di Masjid Al-Aqsa

Ilustrasi: pinterest.
Ilustrasi: pinterest.

DARAH telah tumpah menggenangi lantai Masjid Al Aqsa yang merupakan tempat suci ketiga bagi umat Islam. Peristiwa ini tentu menimbulkan kemarahan luar biasa umat Islam di seluruh dunia.

Sebagai upaya penyulut emosi, bobot kemarahan yang ditimbulkannya menjadi berlipat ganda, karena terjadi di akhir Ramadhan, disaat umat Islam melaksanakan ibadah puasa dan mereka yang jadi korban sebagian sedang melakukan itikaf.

Ketegangan bermula dari keputusan Pengadilan Israel yang mengusir sejumlah keluarga Palestina dari wilayah Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur. Keputusan ini menimbulkan perlawanan dari warga Palestina, mereka kemudian melakukan demonstrasi sebagai bentuk protes.

Pada Hari Jumat sesudah melaksanakan shalat Jumat, sebagaimana biasanya warga Palestina memanfaatkan orang yang berkumpul untuk melakukan unjuk rasa besar, manakala menghadapi persoalan yang penting atau genting.

Pemerintahan Israel meresponnya dengan mengirim polisi yang dipersenjatai dengan peluru karet dan bom kejut untuk masuk dan menyerbu ke dalam masjid. Terjadilah bentrokan yang menelan korban nyawa dan luka-luka.

Seperti biasanya kekerasan dibalas dengan kekerasan, saling serang antara sayap bersenjata Hammas dan Jihad Islam yang berbasis di Gaza dengan pasukan Israel IDF tidak terhindarkan. Korban nyawa dan luka-luka kedua belah pihak terus berjatuhan, dengan eskalasi yang terus meningkat.

Pertanyaannya, mengapa negara Zionis ini meresponnya dengan menggunakan kekerasan? Jika memang harus menggunakan senjata, mengapa harus masuk ke dalam masjid yang merupakan tempat suci yang sangat dihormati, bukannya menunggu sampai jamaah keluar dari kawasan rumah ibadah?

Untuk membaca kemana arah yang diinginkan Tel Aviv, maka kita harus mundur beberapa minggu ke belakang, saat akhir April lalu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mingirim delegasi ke Washington.

Delegasi terdiri dari sejumlah anggota senior Mossad yang dipimpin oleh Kepalanya Yossi Cohen, didampingi oleh Penasehat Keamanan Nasional  Ben-Shabbat dan Wakilnya Reuven Azar, kemudian bergabung Dubes Israel untuk Amerika Gilad Erdan yang diberi tugas untuk melobi para petinggi di Washington.

Selama beberapa hari delegasi ini berturut-turut menemui Penasehat Keamanan Nasional Amerika Jake Sullivan, Direktur CIA Bill Burns, Menlu Antony Blinken, dan banyak petinggi Amerika lainnya, termasuk Presiden Joe Biden di Gedung Putih, baik dalam bentuk pertemuan resmi maupun tidak resmi, pertemuan yang diumumkan atau pertemuan yang disembunyikan.

Menurut Times of Israel dan Saluran 12 TV Israel, Tim ini ini ditugasi untuk meyakinkan para petinggi di Washington, bahwa rencana Amerika kembali ke kesepakatan nuklir dengan Iran dalam bentuk perjanjian JCPOA adalah salah.

Selanjutnya Tel Aviv mendesak agar perundingan terkat dengan perjanjian yang ditandatangani Barack Obama tahun 2015, kemudian dibatalkan Donald Trump tahun 2018, yang kini sedang berlangsung di Viena dihentikan.

Washington secara tegas menolak permintaan ini, akan tetapi berjanji akan mengakomodasi berbagai aspirasi dari Tel Aviv sebelum perjanjian disepakatai dan ditandatangani Joe Biden.

Delegasi Israel kemudian mengajukan tuntutan antara lain: Iran harus menghentikan kegiatan pengayaan uranium di pusat-pusat reaktor nuklir yang dimilikinya, membekukan program rudal balistiknya, menghentikan produksi dronenya, menghentikan dukungannya terhadap milisia Hizbullah di Lebanon, milisia Houthi di Yaman, berbagai milisia pro Iran yang beroperasi di Irak, serta menarik tentaranya dari Suriah.

Melihat banyaknya tuntutan yang diajukan, jelas permintaan ini tidak mungkin dilakukan oleh Washington. Karena itu, hal ini harus dibaca sebagai kesengajaan dari Israel untuk menciptakan situasi perundingan menjadi buntu atau dead lock.

Bagi Tel aviv, kembalinya Washington ke kesepakatan JCPOA hanya akan meningkatkan kemampuan Iran baik secara ekonomi maupun militer. Bisa dibayangkan dalam situasi terkena embargo dan sanksi berlapis saja, Teheran mampu membuat Israel kewalahan menghadapinya, apalagi jika embargo dan sanksi yang berlapis ini dicabut.

Fakta ini sekaligus menunjukkan klaim bahwa kehebatan negara Zionis ini dalam teknologi dan militer ternyata hanya mitos belaka. Mengapa takut dengan nuklir Iran, toh Israel sudah punya bom nuklir. Mengapa takut dengan rudal Iran, toh Israel sudah punya Iron Dome sebagai perisai untuk melindungi negaranya dari kemungkinan serangan rudal.

Kalau Iran punya drone, bukankah Israel punya aneka drone yang bahkan sudah diekspor ke banyak negara. Rentetan pertanyaan seperti ini bisa terus ditambah dari dua negara yang saling menantang dan mengancam ini.

Karena itu, dengan logika awam tuntutan negara Zionis ini dapat diibaratkan seperti  dua jagoan yang akan bertarung, yang satu meminta wasit membolehkannya memegang senjata apa saja, sementara yang lainnya harus dibelenggu tangan dan kakinya. Selama ini, pola seperti inilah yang selalu dimainkan Israel.

Biden bukanlah Trump yang begitu saja mengikuti keinginan Israel meskipun harus mengorbankan kepentingan nasional Amerika. Tekanan dari delegasi yang dikirim ke Washington terjadi, di saat Presiden Joe Biden sedang berusaha meredakan ketegangan antara negara-negara Muslim khususnya di kawasan Timur Tengah, sebagaimana terlihat hasilnya dari meredanya ketegangan antara Turki-Mesir, Turki-Saudi Arabia, Saudi Arabia-Qatar, Saudi Arabia-Iran, dan banyak lagi indikator yang terlalu banyak untuk disebut semuanya.

Pada saat bersamaan, Washington berusaha merangkul negara-negara Muslim, sebagaimana terlihat dari keputusan Gedung Putih untuk merangkul kembali Palestina, mendamaikan perang saudara di Yaman, mendamaikan perang saudara di Libia, menarik pulang pasukannya dari Afghanistan, dan banyak lagi indikator lainnya yang bisa ditambah jika mau.

Joe Biden nampaknya belajar dari kegagalan pendahulunya Donald Trump yang berusaha membendung kemajuan China sendirian. Dengan meredakan ketegangan di Timur Tengah, Washington bisa memfokuskan energinya ke Beijing, dan dengan merangkul dunia Islam Amerika mendapatkan tambahan kekuatan dari luar.

Dalam situasi seperti inilah, provokasi dilakukan Israel di Masjid Al Aqsa. Iran yang berada pada barisan paling depan dalam  membela Palestina,  sejauh ini belum terpancing untuk melakukan tindakan militer, meskipun Ali Khamaini berkali-kali telah membuat pernyataan sangat keras.

Jika Iran terpancing, maka Biden akan dipaksa oleh rakyatnya sendiri untuk membela Israel. Dalam situasi panas seperti ini, perundingan yang sedang berlangsung terkait JCPOA di Vienna tidak mungkin untuk dilanjutkan dan dipastikan akan bubar. Sekenario seperti inilah yang diharapkan Benjamin Netanyahu.

Karena itu, situasinya dapat digambarkan sebagai pertarungan atau adu cerdas segitiga antara Tel Aviv, Teheran, dan Washington.

Kini kemampuan Biden benar-benar sedang diuji, apakah ia mampu mengamankan agendanya demi menyelamatkan kepentingan nasionalnya bangsanya,  atau menyerah dengan Tel Aviv sebagaimana pendahulunya, yang membuat Tiongkok semakin jauh meninggalkan Amerika. Sangat menarik untuk dicermati. 

| Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.