Di Tengah Perang, Cina dan India Jadi Mesin Pencetak Uang untuk Rusia

Ilustrasi
Ilustrasi

Rusia tak goyah dengan adanya sanksi barat lantaran pundi-pundinya terus terisi. Meskipun Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya berusaha memberikan tekanan ekonomi pada Moskow.


Tercatat Rusia sudah mengantongi 24 miliar dolar AS atau Rp 359 triliun dari penjualan energinya ke China dan India. Jumlah itu terhitung kurun waktu tiga bulan setelah invasi dimulai, 24 Februari lalu.

Selama tiga bulan hingga akhir Mei, China sudah menghabiskan 18,9 miliar dolar AS untuk membeli minyak, gas, dan batubara dari Rusia. Angka tersebut dua kali lipat dari jumlah tahun sebelumnya.

"China pada dasarnya telah membeli segala sesuatu yang dapat diekspor Rusia melalui jaringan pipa dan pelabuhan Pasifik," kata analis utama di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, Lauri Myllyvirta, seperti diberitakan sumber Kantor Berita Politik RMOL, Kamis, 7 Juli 2022.

Pada periode yang sama, India sudah mengeluarkan 5,1 miliar dolar AS, atau lebih dari lima kali lipat dari pembelian pada tahun lalu. "India telah menjadi pembeli utama kargo dari Atlantik yang tidak diinginkan lagi oleh Eropa," kata Myllyvirta.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2021, penjualan energi Rusia ke dua negara tersebut lebih besar 13 miliar dolar AS. Pendapatan ini tentu membantu Rusia bertahan dari sanksi dan upaya embargo yang diberlakukan oleh AS.

Myllyvirta mengatakan, uang dari China dan India tampaknya akan terus mengisi pundi-pundi Rusia dalam waktu cukup lama. Itu lantaran volume impor China dari Rusia terus mengalami kenaikan, sementara India memiliki intensi pembelian energi dari Moskow di tengah lonjakan harga.

Rusia telah lama menjalin hubungan perdagangan dan strategis dengan China dan India. Selain menawarkan diskon harga yang tinggi, Rusia juga menerima pembayaran dalam mata uang lokal untuk membantu menjaga arus perdagangan ke negara-negara tersebut tetap kuat.