Dianggap Bermasalah, PT Medco dan BPMA Harus Taat Hukum

Ahmad Shalihin. Foto: Ist.
Ahmad Shalihin. Foto: Ist.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta PT Medco E&P Malaka dan Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) harus taat hukum. Karena Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan  pemasangan gorong-gorong pembuangan air (cairan limbah), melawan hukum.


Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, mendesak PT Medco E&P Malaka serta BPMA yang berada di Blok A Malaka, Gampong Blang Nisam, Kecamatan Indra Makmur, Aceh Timur, tidak mengulangi lagi kegiatan yang sama. Karena dampak dari pembuatan gorong-gorong pembuangan air limbah di sana tidak sesuai aturan berlaku. 

"Perbuatan PT Medco dan BPMA diputuskan bersalah tertuang dalam  salinan nomor 62/pdt.g/2020/pn.jkt.sel tertanggal 21 Februari 2022. Jangan sampai ini tidak terulang kembali," kata Ahmad Shalihin, dalam keterangan tertulis, Rabu, 18 Mei 2022.

Shalihin menjelaskan, kasus itu masih dalam upaya hukum banding. Putusan tersebut menjadi indikator catatan buruk bagi PT Medco E&P Malaka dan BPMA dalam pengelolaan sumber daya alam gas di Aceh.

Shalihin mengatakan, kasus itu pada awalnya digugat oleh warga setempat. Karena PT Medco E&P Malaka satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (Migas), dan BPMA dianggap melawan hukum secara sengaja dan terencana.

"Yaitu telah memasang saluran gorong-gorong pembuangan air limbah dengan diameter kurang lebih 1,5 meter dan menanamnya melintasi bagian bawah. Sehingga ujung pembuangan pipa mengarah langsung ke lahan milik warga yang menyebabkan kerugian materil dan inmateril," kata dia. "Atas gugatan tersebut, Pengadilan Negeri  Jakarta Selatan mengabulkan tuntutan tersebut dan menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap penggugat."

WALHI Aceh, kata Shalihin, menilai putusan PN Jakarta Selatan ini menjadi catatan buruk dan lalai dalam melakukan pengawasan pengelolaan Migas di Aceh. Hal ini sebagaimana pelimpahan kewenangan dari satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas), sesuai peraturan pemerintah no 23 tahun 2015.

"Tentunya kasus ini menjadi pintu masuk bagi Gubernur Aceh dan DPRA untuk melakukan evaluasi kinerja BPMA," kata dia.

Shalihin menyebutkan, kasus ini menjadi bukti bahwa BPMA belum menjalankan tugasnya dengan baik. Padahal dalam misi utamanya adalah mengedepankan pertumbuhan investasi industri hulu migas yang prospektif, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. 

Menurut Shalihin, jika kasus serupa terulang kembali, tidak hanya terdampak terhadap wilayah kelola rakyat sebagai sumber perekonomian warga, juga berdampak serius terhadap lingkungan hidup yang ada dilingkungan izin PT Medco E&P Malaka. Sehingga akan terjadi kerugian ekologi, dan ini menjadi masalah serius kedepannya.  

Shalihin berharap dalam upaya banding di Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta Selatan akan memberikan putusan dengan memperkuat putusan tingkat pertama serta mengabulkan tuntutan kerugian materil dan inmateril. Supaya kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi PT Medco E&P Malaka, satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas), dan BPMA.