Digitalisasi di Tengah Pandemi


TAK ada satupun dari kita yang benar-benar siap saat Covid-19 mewabah. Kita benar-benar bingung. Mungkin kita pernah diancam oleh flu burung, sars, atau penyakit lain yang disebabkan oleh virus. Tapi Covid 19? Kita benar-benar buta. 

Informasi yang kita dapat sangat terbatas. Tak banyak literasi yang bisa kita jadikan panduan untuk menghadapi situasi saat itu karena virus corona model ini tak pernah dikenal sebelumnya. Situasi pun semakin memburuk setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan oleh Pemerintah Indonesia. Lantas tiba-tiba, virus ini menjadi pandemi yang benar-benar tak terkendali. 

Di Aceh, upaya pemerintah membatasi perjalanan dan pemeriksaan di pintu-pintu perbatasan tak kuasa membendung penyebarannya. Di luar Aceh, kurva lonjakan terus meningkat. 

Seluruh sektor kehidupan pun mulai terdampak. Masjid-masjid hanya bisa diisi dengan saf berjarak. Sementara rumah ibadah untuk warga Aceh yang lain ditutup. Aktivitas warga di warung-warung kopi, pusat layanan publik, kantor pemerintahan dan pasar dibatasi. Aktivitas di dalam rumah lebih disarankan. Kita tiarap.

“Apa yang tak membunuhmu, akan membuatmu semakin kuat.” Perlahan masyarakat mulai memanfaatkan jaringan internet sebagai ruang pertemuan virtual. Aplikasi Zoom, Teams, atau Google Meet mulai dilirik untuk menghubungkan orang ke orang di mana saja. 

Jaringan Media Siber Indonesia adalah salah satu organisasi yang cakap memanfaatkan teknologi ini. Rapat-rapat bahkan musyawarah nasional digelar secara virtual dan luring. Memberikan kesempatan kepada banyak anggota untuk tetap berpartisipasi meski tak bisa beranjak dari kediaman mereka. JMSI membuktikan bahwa masa depan itu datang lebih cepat. 

Aktivitas belanja secara daring juga mulai meningkat. Belanja kebutuhan pokok, atau pakaian dan kebutuhan rumah tangga lain, dilakukan lewat jaringan internet. Pemerintah mendukung hal ini lewat kebijakan yang tidak membatasi bisnis jasa pengiriman barang untuk beraktivitas. Sementara perbankan membuka lebar-lebar akses perbankan digital yang tak membutuhkan transaksi fisik.

Namun tak semua individu masyarakat dapat merasakan dampak kemajuan teknologi internet ini. Salah satunya adalah masyarakat di pulau-pulau terluar di Indonesia, termasuk di Aceh. Masyarakat di Pulo Aceh, atau daerah-daerah pedalaman, sulit beraktivitas karena tak tersedia jaringan internet yang memadai untuk mendukung kegiatan mereka, terutama dalam memasarkan produk mereka. 

Hal ini harus jadi pendorong bagi pemerintah untuk memastikan setiap warga negara mendapatkan akses internet. Karena internet, kini, menjadi bagian dari hak asasi manusia untuk beropini, berdagang, dan menyuarakan hak asasi manusia. Pemerintah harus belajar dari pandemi ini untuk merancang kehidupan yang lebih baik, terutama dalam urusan internet dan digitalisasi.