Dinamika APBN

Ilustrasi. Foto: net
Ilustrasi. Foto: net

PENGGUNAAN pengukuran rasio utang negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai parameter ambang batas aman kesehatan APBN perlu dikaji lebih lanjut.

Persoalannya adalah angka rasio pajak mempunyai trend yang menurun dan pemerintah mengalami kesulitan untuk menaikkan angka rasio pajak tanpa menimbulkan kegaduhan masalah sosial, sedangkan usaha tax amnesty yang dinilai relatif “berhasil”, itu bukanlah merupakan instrumen yang dapat diulang-ulang dan kegiatan untuk mendorong pembayaran penagihan kasus BLBI, misalnya, tidaklah selancar sesuai harapan pemerintah.

Berbeda halnya apabila digunakan pengukuran bahwa program pembangunan pemerintah pusat yang dibiayai oleh hutang negara musti mampu dibiayai oleh pendapatan negara secara relatif sehat.

Bukan anti utang negara, namun disain defisit primer dan defisit APBN telah menimbulkan masalah yang semakin serius.

Pertama, skenario pembayaran bunga utang tanpa pembayaran utang pokok negara terhadap pendapatan negara sebesar 22,05 persen untuk RAPBN 2022. Tanpa informasi pembayaran utang pokok, maka tidak diketahui sampai kapan suatu pemerintahan mampu melunasi utang-utang negara. Juga sampai kapan dilakukan pembiaran tanpa regulasi, yang mengatur kegiatan utang dari suatu periode pemerintahan kemudian diatur ambang batas cicilan utang negara yang sehat wajar pada pemerintahan periode mendatang.

Selama ini digunakan asumsi bahwa pemerintahan mendatang wajib handal dalam mengurusi warisan utang negara dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya secara wajar. Juga digunakan asumsi normatif bahwa setiap pemerintahan pasti senantiasa bijak dalam mengelola APBN dan fenomena government shutdown dianggap senantiasa tidak pernah relevan terjadi di Indonesia, selama Bank Indonesia bersedia melaksanakan burden sharing.

Di samping itu, berbagai tuntutan untuk menyelesaikan pengangkatan pegawai honorer dan sukarelawan terkatung-katung, sedangkan angka rasio belanja modal terhadap belanja pegawai pemerintah pusat sebesar 46,07 persen untuk RAPBN 2022. Artinya, angka rasio tersebut melegitimasikan fenomena pembayaran pegawai pemerintahan pusat antara lain berfungsi sebagai sumber penyerapan tenaga kerja yang signifikan, ketika program entrepreneurship belum menunjukkan kemajuan secara radikal. Bahkan fungsi keberlanjutan pembangunan nasional terkesan terkorbankan oleh keberadaan kondisi angka rasio belanja modal terhadap belanja pegawai pemerintah pusat tersebut.

Kedua, angka rasio pembayaran bunga utang negara terhadap pembiayaan APBN sebesar 46,76 persen untuk RAPBN 2022. Pembiayaan APBN tersebut sebesar defisit APBN. Artinya, tanpa pembayaran utang pokok negara pun angka rasio tersebut setara dengan pembayaran sebagian bunga utang negara sudah bernilai jauh lebih tinggi dibandingkan suku bunga kredit konsumsi terbesar Bank Asing dan Bank Campuran, yang sebesar 23,76 persen per Juni 2021, sebagai perbandingan suku bunga kredit yang tertinggi. Tidak mengherankan jika kegiatan burden sharing dikerjakan dan Surat Utang Negara dibeli oleh perbankan.

| Penulis adalah peneliti INDEF dan pengajar Universitas Mercu Buana