Disparitas Harga Pemicu Moral Hazard Tata Kelola Solar Subsidi

Ilustrasi Solar Subsidi. Foto: Ist/net.
Ilustrasi Solar Subsidi. Foto: Ist/net.

"Mereka bisa meraup untung puluhan triliun dari penjualan solar kencingan"

HARGA solar dipasar gelap kata sumber yang dapat dipercaya sekitar Rp13.000 per liter. Jadi selisih dengan harga solar subsidi yang dijual pertamina mencapai Rp6.150 setiap liternya. 

Bayangkan saja jika separuh dari solar subsidi tersebut masuk ke pasar gelap, maka jumlah dapat mencapai 9 juta kilo liter atau 9 miliar liter. Jika setiap liter dapat untung  Rp6.150, maka keuntungan yang mampu diraup pedagang solar gelap mencapai Rp55 triliun.

Sejatinya solar gelap itu adalah solar curian. Sumber solar gelap semacam ini pasti dicuri dari sumber resmi yang merupakan jalur distribusi solar subsidi. Solar gelap tidak mungkin merupakan barang seludupan dari luar negeri, dikarenakan diluar negeri harga solar lebih mahal.

Dengan demikian, maka sesungguhnya solar gelap tersebut adalah solar milik negara yang seharusmya digunakan buat masyarakat miskin, angkutan transportasi logistik. Dimana salah satu tujuan solar subsidi yakni untuk menekan inflasi dan menjamin harga solar terjangkau oleh masyarakat.

Tapi masalahya adalah harga solar subsidi dengan solar komersial terpaut sangat jauh. Harga solar subsidi Rp6.850 per liter, sedangkan harga solar komersial mencapai Rp17.000 per liter. Disparitas harga terlalu lebar. Inilah yang diduga wmerangsang semua orang dalam rantai supply solar melakukan pencurian.

Bahkan jika 10 persen saja solar subsidi ini dicuri, maka jumlahnya mencapai 1,8 miliar liter. Dengan harga solar black market sebesar Rp13.000 per liter, keuntungan maling solar mencapai Rp11 triliun. Itu keuntungan minimal.

Selisih harga yang terpaut sangat jauh inilah yang menimbulkan moral hazard pihak pihak yang terlibat dalam rantai distribusi solar subsidi. Sementara pengawasan sangat lemah. Kasus - kasus solar gelap tidak banyak yang dapat diungkap. Mereka berada dalam jaringan yang sangat rapi. Kok bisa?.

|Penulis adalah peneliti pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)