DPR Aceh Undang Pakar Hukum Bahas Pilkada 2022

Ketua DPR Aceh Dahlan Jamaluddin. Foto: RG
Ketua DPR Aceh Dahlan Jamaluddin. Foto: RG

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Dahlan Jamaluddin mengatakan pihak lembaga yang dipimpinnya akan menggelar forum dengar pendapat umum bersama akademisi dan pakar hukum terkait pelaksanaan Pilkada Aceh di 2022 mendatang. Dahlan berharap mendapatkan argumentasi legal yang komprehensif terkait Pilkada 2022. 


“Ini juga akan menjadi referensi membangun komunikasi politik koordinasi dengan pemerintah nasional tentunya," kata Dahlan , di Gedung Parlemen Aceh, Rabu, 17 Februari 2021.

Dahlan mengatakan pihaknya membahas terkait dengan posisi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) terhadap pelaksanaan pesta rakyat lima tahun tersebut di Aceh. Menurut Dahlan, semua pakar hukum yang hadir setuju Pilkada Aceh dilaksanakan dengan UUPA.

Oleh karena itu, kata Dahlan, sengkarut Pilkada Aceh di 2022 hanya persoalan teknis. Sengkarut ini mengharuskan Aceh memperbaiki hubungan komunikasi dan koordinasi Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat. 

Sebelumnya, praktisi hukum Mukhlis Mukhtar mengatakan persoalan yuridis terkait Pilkada Aceh telah selesai. Bahkan pada Pasal 65 ayat 1 itu menutup rapat-rapat pelaksana jabatan pilkada itu jangan dipahami sebagai ruang lingkup atau wilayah partai politik dan elit juga persoalan rakyat.

"Secara hukum sudah selesai, sekarang ya persoalan teknis bagaimana kawan-kawan partai politik menyelesaikan secara teknis," kata Mukhlis Mukhtar di Banda Aceh, Senin, 15  Februari 2021.

Menurut Mukhlis, sesuai amanah MoU Helsinki, rakyat Aceh bisa memilih pemimpin sendiri dari kalangan mereka sendiri. Artinya itulah hak rakyat Aceh dan tidak ada ruang lagi untuk seorang pelaksana tugas gubernur atau pejabat gubernur. 

"Soal gebrakan pemerintah pusat itu adalah soal teknis. Belum diatur, belum ada jadwal. padahal kami dulu telah mengatur itu dan yang mengatur itu DPR RI, bahwa segala sesuatu yang menyangkut dengan pilkada Aceh diatur dalam Qanun," kata Mukhlis.

Kemudian, kata Mukhlis, aturan pelaksanaannya sesuai dengan ilmu hukum legal standing itu memang wilayah qanun, wilayah aturan pelaksana, selebihnya wilayah KIP.