Dukungan Partai Demokrat Terhadap Aceh Jangan Setengah-setengah

Ilustrasi: dok.
Ilustrasi: dok.

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat menyatakan revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu), tentang Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, jangan sampai memberangus serta menghilangkan wewenang Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. 


Hal ini merupakan hasil kesepakatan damai Aceh Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005 yang dituangkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), yaitu UU No. 11 Tahun 2006.

Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Aceh, Taufiq A. Rahim, menyebutkan pada dasarnya UU Nomor 11 Tahun 2006 bukan saja berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2022 dan atau 2023. Namum banyak hal substantif tentang kekhususan Aceh dan keistimewaan yang diberikan Pemerintah Pusat terhadap Aceh.

"Termasuk self governance, syariat Islam, batas wilayah, penentuan tingkat suku bunga uang (penggunaan uang dinar dan dirham), self determination, himne, lambang dan bendera Aceh serta banyak lagi hak sipil dan politik di Aceh belum tuntas," kata Taufiq kepada Kantor Berita RMOLAceh, Selasa, 19 Januari 2021.

Menurut Taufiq, DPP Partai Demokrat dalam hal ini Agus Harimurti Yudoyono, seolah-olah ingin mengejar atau meraih simpati rakyat Aceh, hanya tentang pelaksanaan Pilkada 2022 saja. 

Sementara itu, kata Taufiq, terlalu banyak masalah UUPA (UU No. 11/2006) yang tidak didukung oleh Gubernur Aceh, Nova Iriansyah selaku Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Aceh. Dia bahkan secara terang-terangan mengacuhkan dan berpotensi melanggar, termasuk saat tidak ambil pusing dengan tuntutan keberadaan Wakil Gubernur Aceh pada periode ini. 

"Juga banyak kebijakan publik dan anggaran yang seperti dukungan untuk dayah, masjid, rumah duafa dan lainnya dari kekhususan Aceh, sama sekali tidak menjadi skala prioritas dalam kebijakan sebagai Gubernur Aceh," ujar Taufiq.

Taufiq menilai hal ini merupakan dua sisi yang berbeda antara sikap, keinginan dan target politik dalam praktiknya dari Partai Demokrat antara Jakarta dan Aceh. 

Menurut Ketua Lembaga Penelitian Unmuha ini, konsistensi keinginan dan sikap antara AHY serta praktik politik dan kebijakan politik Nova Iriansyah berbeda, yang sama sekali tidak mendukung bahkan acuh tak acuh dan menerabas UUPA. 

"Jadi jangan hanya bicara politik Pilkada yang penuh kepentingan politik jangka pendek semata, untuk kekuasaan politik di Aceh, tetapi mesti holistik dan komprehensif," ujarnya.

Taufiq menyarankan, jika Partai Demokrat ingin meraih simpati politik dan tetap ingin mendapatkan kekuasaan politik di Aceh, karena perjanjian damai Aceh, dengan lahirnya MoU Helsinki pada saat Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), maka jangan setengah hati, apalagi bertentangan atau bertolak-belakang. 

"Rakyat Aceh tidak tertarik lagi dengan sikap atau keinginan politik setengah hati, konon pula dari partai politik nasional yang tidak konsisten serta bertanggung jawab terhadap kehidupan rakyat Aceh sesungguhnya," kata Taufiq.