Ekonomi Perizinan Digital

Ilustrasi. Foto: Pixabay
Ilustrasi. Foto: Pixabay

UU Cipta Kerja mendapatkan penguatan kesan ekstrim bahwa pemerintah daerah kembali menjadi penonton atas distribusi kue pembangunan ekonomi. Hal itu karena berbagai perizinan kembali berada pada kewenangan pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah berfungsi sebagai penerima pembagian ekonomi atas distribusi penerimaan negara yang dibagikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Kondisi yang seperti ini cukup merisaukan harapan peningkatan kesejahteraan ekonomi yang dapat terdistribusi kepada pelaku ekonomi di tingkat pemerintah daerah.

Itu suatu benih-benih awal ketidaksukaan yang kembali menanamkan bibit-bibit kecemburuan ekonomi kepada pemerintah pusat. Akan tetapi bukanlah hal ini akan memunculkan perlawanan dari daerah kepada pusat, seperti pada periode awal jauh sebelum pembentukan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dibandingkan penguatan atas tugas perbantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Kondisi yang seperti ini cukup merisaukan harapan peningkatan kesejahteraan ekonomi yang dapat terdistribusi kepada pelaku ekonomi di tingkat pemerintah daerah.

Itu suatu benih-benih awal ketidaksukaan yang kembali menanamkan bibit-bibit kecemburuan ekonomi kepada pemerintah pusat. Akan tetapi bukanlah hal ini akan memunculkan perlawanan dari daerah kepada pusat, seperti pada periode awal jauh sebelum pembentukan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dibandingkan penguatan atas tugas perbantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Contoh sederhana perubahan perizinan itu misalnya untuk tonase kapal nelayan berbobot mati tertentu, yang sekalipun masih bertonase relatif kecil, kemudian diberlakukan sistem zonasi perizinan dan kewenangan, dimana diperlukan persetujuan perizinan di tingkat pemerintah pusat di Jakarta.

Sekalipun mekanisme perizinan telah dibangun semakin mengarah pada digitalisasi, yang sebenarnya dapat memangkas pelintasan batas waktu dan tempat, namun penggunaan teknologi komputer robotisasi dalam perizinan yang seperti itu masih dalam tahap transisi atas penerimaan keberadaan budaya kerja digital. Sangat terasa benturan dari budaya kerja ekonomi digital dibandingkan ekonomi tradisional tatap muka secara langsung. Bukan hanya persoalan distribusi bujeter, melainkan distribusi dana non bujeter juga tergerus berpindah ke lain pelaku ekonomi.

Periode transformasi dari ekonomi tradisional ke ekonomi digital ini menimbulkan kesan kuat adanya pihak-pihak, yang semula mendapatkan manfaat ekonomi atas keberlakuan irama klasik terhadap durasi kecepatan perizinan menjadi pelaku ekonomi daerah yang terdisrupsi. Guncangan penggunaan teknologi perizinan tersebut sebenarnya bukanlah dampak yang baru saja diketahui dan disadari.

Disrupsi perekonomian tersebut sebenarnya sudah lama terjadi, misalnya pengenalan pada komputeraisasi telah meminggirkan para penulis steno sebagai produk penulisan yang cepat. Kemudian hilangnya pekerja mesin ketik manual dan mesin ketik listrik. Untuk melakukan kompensasi atas degradasi kewenangan perizinan tersebut dan dengan maksud untuk mengurangi dampak negatif dari keberlakuan ekonomi pasar persaingan bebas dan globalisasi, maka pemerintah daerah berusaha untuk melakukan penguatan ekonomi kelembagaan berupa penataan tataniaga komoditas, misalnya memberlakukan zonasi lokal dan penetapan kebijakan harga acuan secara berkala.

Akan tetapi efektivitas dari penataan-penataan kelembagaan ekonomi tersebut belum memuaskan untuk pelaku UMKM dan menjadi keluhan dari pelaku ekonomi usaha berskala besar dalam meningkatkan daya saing bisnis lintas negara. Jadi, titik temu pencarian solusi disrupsi perizinan digital diperlukan.

| Penulis adalah peneliti INDEF dan pengajar Universitas Mercu Buana