Fahri, Waktu Akan Menguji Kesetiaan Kita

Ilustrasi: net.
Ilustrasi: net.

TERIMA kasih kepada Fahri Hamzah yang memberikan pesan pada generasinya. Saya tidak tahu pesan itu untuk semua yang segenerasi atau hanya untuk saya dan Budiman saja, karena foto yang ada dalam kicauannya, hanya foto saya dan Budiman. Bukan foto orang banyak. 

Saya melihat pesan itu seperti mempertanyakan komitmen perjuangan, komitmen kerakyatan saya dan Budiman setelah 24 tahun reformasi. Jika demikian, izinkan saya menjawab itu dengan sedikit berbagi cerita pada Fahri.

Saya ingat ketika saya dan kawan-kawan tersisa yang bertahan di jalanan Jakarta pada 1999. Fahri saat itu sudah menjadi staf ahli di MPR. Berikutnya pada 2004, Fahri dilantik menjadi anggota DPR. Sementara saya dan kawan-kawan masih dipukuli dan ditangkapi. 

Pada 2008, Kantor Pengacara saya dipasangi police line. Saya dikejar hingga jadi "gelandangan" berkeliling dari satu kota ke kota lain lalu jadi pengumpul Trolly di berbagai pusat belanja di negara orang. Pada 2010, saya dipukuli hingga babak belur oleh belasan polisi di pengadilan Jakarta Pusat. 

Fahri, kita beda pilihan, beda jalan. Dan saya pilih jalan sulit, menyakitkan dan tidak menyenangkan. Walau demikian, toh saya tidak pernah usil mengkritik dan mempertanyakan pilihan politik masing-masing orang, termasuk mengkritik Fahri yang saat itu menikmati empuknya kursi anggota DPR RI.

Pada 13 Maret 2007, DPR RI memutuskan agar penyidikan kasus Trisakti dan Semanggi tidak diteruskan. Saat itu Fahri yang mengaku aktivis 98 berada di komisi hukum dan ham. Saya kecewa terhadap keputusan itu. Tapi juga tidak menghakimi Fahri walau sebagai pimpinan komisi, Fahri dapat melawan penghentian penyidikan itu.

Pada 2014, saya baru terpilih menjadi anggota DPR. Sementara Fahri kembali terpilih yang ketiga kalinya. Saat menuju pemilihan pimpinan DPR, Fahri bersama sebagian anggota DPR mengubah UU MD3 agar partai pendukung calon presiden yang kalah bisa menguasai seluruh posisi pimpinan DPR saat itu. 

Upaya itu berhasil. Fahri menjadi salah satu pimpinan DPR. Sekali lagi saya kecewa, bagaimana mungkin Fahri yang mengaku aktivis 98 bisa menggunakan cara-cara, yang bagi saya tidak mencerminkan cara berdemokrasi yang sehat, dewasa dan sportif. Untuk kesekian kalinya saya mengelus dada melihat realitas politik di DPR.

Pada Agustus 2015, Fahri mengatakan bahwa "anggota DPR rada-rada bloon." Pernyataan itu bukan saja menghina para anggota DPR, tapi juga menghina partai yang menyeleksi calon. Bahkan lebih jauh lagi, pernyataan itu menghina rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang memilih nama-nama itu di bilik suara.

Kembali saya kecewa pada Fahri yang mencela proses demokrasi yang memberikan dia kesempatan menjadi anggota DPR untuk tiga periode. Aneh, bagaimana mungkin ada orang yang bisa mencaci-maki prosesnya tapi hasil dari proses itu justru dia nikmati belasan tahun.

Selanjutnya saya tidak bicara tentang kerja formal DPR, yaitu membuat undang-undang, menyusun dan menetapkan anggaran negara lalu mengawasi eksekutif terkait pelaksanaan undang-undang dan penggunaan anggaran itu. 

Saya ingin menyampaikan kepada Fahri bahwa sumpah Jabatan DPR juga memperjuangkan aspirasi rakyat. Aspirasi tersebut tidak diperjuangkan sekadar dalam kalimat undang-undang maupun angka dalam APBN. Itu harus diperjuangkan menggunakan kewenangan dan jejaring politik anggota DPR untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat yang dianiaya dan mengalami ketidakadilan. 

Dalam hal perjuangan kerakyatan itu, bolehkah saya bertanya di mana Fahri, ketika saya dan rakyat sejak 2015 memperjuangkan agar berhektare-hektare tanah Cendana di Bogor bisa dibagikan menjadi milik rakyat. Di mana Fahri ketika saya dan sebagian rakyat Bogor, Cianjur, Sumedang, Bandung, Majalengka dan Cirebon hingga Semarang memperjuangkan hak atas tanah mereka yang dilintasi jalur sutet? 

Bolehkah saya bertanya kepada Fahri di mana dia berada saat saya dan Dani Amrul Ichdan (Direksi Mind Id) bersama masyarakat Pongkor berjuang, sesuai harapan Presiden Jokowi, agar ribuan rakyat bisa membentuk koperasi tambang dan menambang emas di lahan Antam di Pongkor? 

Di mana Fahri ketika saya dan masyarakat Konawe Utara memperjuangkan 400 hektare lahan Antam agar bisa di kelola oleh perusahaan daerah Kabupaten Konawe Utara? Di mana Fahri ketika saya memperjuangkan 170-an orang masyarakat Seram Bagian Barat yang lulus CPNS 10 tahun lalu tapi tidak pernah diangkat sebagai ASN? Oh ya, Fahri, walau tidak memuaskan 100 persen, dan dengan segala kekurangannya, tapi lima masalah itu saat ini dimenangkan rakyat. 

Kenapa Fahri tidak ada bersama saya saat menjenguk ribuan aktivis dan mahasiswa untuk memastikan tidak ada kekerasan dalam pemeriksaan terhadap mereka yang ditahan di Polda pada Oktober 2020 karena menolak UU Cipta kerja?

Ke mana Fahri ketika saya dan beberapa alumni Trisakti, di antaranya Maman Abdurachman, Hendro dan Iwan, berjuang meyakinkan banyak orang untuk membantu rumah dan modal kerja pada empat keluarga korban Trisakti? Kenapa yang menyiapkan empat rumah untuk keluarga korban penembakan Trisakti itu Erick Thohir, yang mungkin tidak ada dijalan pada 1998. Bukan Fahri yang menjadi aktivis 98. Kenapa yang membantu modal kerja senilai Rp 750 juta per keluarga bukan Fahri, tapi Agus Gumiwang yang mungkin juga tidak berjuang bersama mahasiswa Trisakti yang ditembak mati 24 tahun lalu.

Di mana Fahri saat ratusan pekerja taman dan kebersihan DPR gajinya tidak dibayar hingga sehari sebelum Idul Fitri. Bukankah saat itu, pada 2017, Fahri merupakan salah satu pimpinan DPR. Kenapa sebagai pimpinan DPR Fahri membiarkan hal itu terjadi sehingga saya harus seharian berkeliling meminjam uang ke sana-sini dan mengagunkan BPKB agar gaji ratusan pekerja itu bisa dibayar sehari jelang lebaran. 

Saya tidak melihat Fahri menemani saya saat beradu otot leher di Kesekjenan DPR agar Pamdal DPR tidak dipotong Rp 500 ribu perbulan untuk sertifikasi pengamanan. Apakah Fahri sebagai pimpinan DPR tidak tahu kalau upah Pamdal dipotong Rp 500 ribu itu sama saja mengubur mimpi sekolah anak-anak Pamdal itu? Bukankah sebagai pimpinan DPR Fahri bisa mencegah pemotongan itu?

Di mana Fahri ketika saya harus ke Lembaga Pemasyarakatan Sulawesi Tengah lalu kembali ke Jakarta untuk meyakinkan Presiden Jokowi membebaskan Eva Susanti Bande, salah satu aktivis 98 yang divonis 4 tahun penjara karena memperjuangkan petani sawit di Sulawesi Tengah? Di mana Fahri ketika saya dan aktivis 98 lainnya bolak-balik berkali-kali meyakinkan Presiden Jokowi agar menggunakan kewenangannya untuk membebaskan puluhan tahanan politik Papua?

Banyak dan teramat banyak cerita yang bisa saya sampaikan. Maaf jika itu semua harus saya uraikan, bukan bermaksud memegahkan dan menyombongkan diri. Melalui tulisan ini saya mencoba mengingatkan Fahri untuk tidak saling menghakimi dan mempertanyakan pilihan jalan dan pilihan perjuangan masing-masing. Saya hanya ingin mengingatkan Fahri bahwa ada waktu di mana kita bicara tapi ada juga banyak waktu di mana kita harus bekerja tanpa suara. Karena seringkali satu perbuatan lebih berarti dari sejuta ucapan.

Akhir kata, saya mau mengingatkan Fahri bahwa hari ini, tepat 24 tahun lalu, 4 kawan kita dari Trisakti meregang nyawa. Tubuh mereka berlumur darah, menahan sakit lalu meninggal karena ditembak. Dan di atas gugurnya mereka, maka berikutnya lahirlah kebebasan yang kita rasakan hari ini. 

Lahir partai-partai politik, lahirlah serikat-serikat buruh, lahirlah kebebasan media, lahirlah presiden, gubernur, bupati dan anggota dewan yang dipilih langsung oleh rakyat. Lahir Mahkamah Konsitusi, KPK, terjadi pemisahan Polri dan TNI dan banyak lagi.

| Penulis adalah Sekjen Pena 98.