Flower Aceh Minta Pemerintah Aceh Lindungi Pegawai Perempuan dari Tindakan Pelecehan Seksual

Ilustrasi: Guardian.
Ilustrasi: Guardian.

Dewan Pengurus Flower Aceh, Abdullah Abdul Muthalieb, mengatakan kasus-kasus pelecehan seksual di Aceh terjadi di hampir seluruh lini kehidupan masyarakat. Salah satunya perkantoran. 


“Apa yang terjadi di BRA yang merupakan tindakan yang memalukan. Karena itu, tidak cukup hanya memberhentikan pelaku tetapi juga mesti ada upaya hukum secara jelas agar dapat memberikan pembelajaran dan efek jera,” kata Abdullah dalam keterangan tertulis, Sabtu, 9 Januari 2021. 

Abdullah mengatakan kasus akan menjadi preseden buruk perlindungan terhadap perempuan jika tidak diselidiki secara tuntas. Abdullah meyakini kasus pelecehan seksual di kantor BRA bukan tidak mungkin terjadi juga di kantor-kantor pemerintahan lain. 

“Sangat terbuka kemungkinan hal demikian juga menimpa pegawai perempuan, apalagi yang non-PNS,” kata Abdullah.  

Abdullah mengatakan pegawai perempuan yang non PNS atau tenaga kontrak itu jauh lebih rentan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual karena relasi kuasa yang timpang. Terutama saat pelakunya adalah seorang pejabat, atasan langsung dari korban.

Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, mengatakan tidak mudah bagi korban pelecehan seksual untuk melaporkan kejahatan yang dia alami. Karena itu, perlu tindakan nyata Pemerintah Aceh untuk melindungi korban.  

Rismawati meminta agar kasus pelecehan seksual di kantor BRA diusut tuntas secara hukum. Riswati juga berharap agar korban dikembalikan haknya untuk kembali bekerja di kantor BRA setelah dia diberhentikan karena melaporkan tindakan atasannya itu. 

“Pemberhentian terhadap korban sangat tidak adil dan merupakan bentuk pembungkaman kepada korban. Jangan sampai apa yang terjadi di kantor BRA itu ditiru di tempat lain,” kata Riswati. 

Pemerintah Aceh bersama DPRA sebelumnya sudah menetapkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Adanya Qanun ini sebenarnya dapat disebut sebagai terobosan untuk mengoptimalkan upaya yang sudah ada selama ini untuk mengatasi makin tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh. 

Hanya saja, Qanun ini tidak secara spesifik mengatur untuk wilayah birokrasi. Karena itu perlu ada kebijakan pendukung yang spesifik menyasar birokrasi sebab wilayah birokrasi berbeda dengan wilayah publik pada umumnya. Oleh sebab itu, Gubernur Aceh harus menjadikan kasus ini sebagai pintu masuk untuk membangun budaya organisasi di seluruh SKPA yang punya kepekaaan dan kesadaran penghormatan terhadap perempuan. 

Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah masyarakat pada umumnya  sangat berbeda jika terjadi di birokrasi layaknya SKPA. Oleh sebab itu, Direktur Flower Aceh ini juga mendesak Gubernur Aceh untuk segera menetapkan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan di lingkungan Pemerintah Aceh. 

Mekanisme yang spesifik ini mengatur khusus bagi seluruh SKPA itu harus segera ditetapkan sehingga ada kejelasan bagaimana tindak kekerasan kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk dapat dicegah di lingkungan birokrasi. Di dalamnya juga mengatur prosedur dan jaminan bagi pelapor sekaligus konsekuensi bagi pelaku baik dari sisi hukum maupun karirnya di birokrasi.