Flower Aceh: Sistem Proporsional Tertutup Rugikan Kaum Perempuan 

Ilustrasi surat suara. Foto: net.
Ilustrasi surat suara. Foto: net.

Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati menilai wacana sistem proporsional tertutup dalam Pemilihan Umum (Pemilu) mendatang sangat mencekik dan merugikan kaum perempuan yang ingin terjun kedalam dunia politik. Pasalnya dengan sistem itu tentunya perempuan akan dibatasi ruang gerak dalam membangun demokrasi oleh partai politik.


"Kita pasti tidak mendukung sistem proporsional tertutup ini, karena secara langsung hal tersebut membatasi proses demokrasi," ujar Riswati kepada Kantor Berita RMOLAceh, Rabu, 1 Maret 2023.

Menurut Riswati, begitu penentuan kewenangan berfokus ke partai politik (Parpol), walaupun calon legislatif (caleg) perempuan suaranya banyak, namun nantinya tetap parpol memiliki kewenangan yang menentukan calon terpilih.

"Saat ini saja, keterwakilan perempuan misalnya di Aceh masih sangat minim sekali, bahkan jumlahnya hanya berkisar 11 persen di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh," ujar aktivis perempuan yang akrab disapa Riris ini.

Riris menyebutkan bahwa pada pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan oleh pengurus partai politik peserta pemilu tingkat kabupaten/kota memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Jika sistem proporsional tertutup diterapkan maka kaum perempuan akan semakin digerus dan dikesampingkan.

Karena ada anggapan laki-laki lebih mempunyai power untuk menjadi pemimpin, maka sudah dapat dipastikan perempuan tidak akan masuk di dalamnya. Meskipun perempuan dipilih itu sangat minim dan kecil kemungkinannya.

"Iya (merugikan), bisa menghambat upaya mempercepat peningkatan keterwakilan perempuan dilegislatif," ujar Riris.

Lebih lanjut Riris menuturkan, dalam sistem proporsional tertutup, yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menentukan caleg yang akan duduk di bangku legislatif adalah Parpol. Menurutnya, partai sudah tentu memiliki orang-orang yang akan di tempatkan di kursi legislatif, dan hal tersebut akan membuat perempuan susah untuk bersaing.

"Kita dapat lihat dalam keputusan kebijakan struktur parpol, contohnya seperti ketua, sekretaris itu lebih didominasi oleh laki-laki, perempuan hanya jadi anggota, hanya sebagai pelengkap saja," ujar Riris.

Bahkan yang mirisnya lagi menurut Riris, dalam hal penentuan nomor urut hingga lokasi Daerah Pemilihan (Dapil), partai lebih mengutamakan kaum laki-laki, karena dianggap lebih mumpuni. Padahal, jika ditelusuri secara mendalam perempuan juga memiliki kapasitas untuk hal tersebut.

“Kalau kita refleksikan dalam penentuan nomor urut, dalam penentuan dapil sering kali nomor urut yang strategis atau tempat yang strategis diprioritaskan ke laki-laki, alasannya, dia diberikan tempat itu karena menduduki posisi penting dalam struktur partai,” kata Riris.

Selain itu tidak jarang ditemukan dalam Pemilu, jika jumlah suara perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, maka perempuan selalu dituntut untuk mengalahkan dengan merelakan posisi tersebut jatuh ke tangan laki-laki.

"Suara terbanyak saja di internal partai masih bisa didiskusikan, misalnya suara perempuan sama dengan laki-laki tapi laki-laki yang dianggap lebih untuk diprioritaskan," kata dia.

Riris mengatakan hal yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana cara menetralisir masalah yang dihadapi oleh perempuan dalam dunia politik. Karena banyak sekali tantangan yang terus menyelimuti perempuan untuk hengkang dari ranah politik ini.

Salah satu contoh tantangan yang dihadapi perempuan adalah saat ini menurut Riris, masih adaa Black Campaign (Kampanye hitam) yang menyudut perempuan. Ada yang membuat larangan seolah-olah perempuan tidak berhak untuk menjadi pemimpin, bahkan berkecimpung di dunia politik.

“Terus hal lain yang menjadi masalah bagi perempuan adalah money politik yang masih banyak,” kata Riris.

Melihat beberapa kondisi tersebut, Riris berharap partai politik yang ikut mendukung sistem proporsional tertutup untuk tidak mengambil langkah yang dapat merugikan kelompok lain. Apalagi keterlibatan perempuan sangat diperlukan.

"Maksudnya perempuan juga anggota dia. Itu bagian yang mendukung demokrasi, kita sepakat bahwa demokrasi berjalan kalau semua pihak terlibat," ujarnya.

Riris juga menyarankan Parpol bisa lebih fokus melakukan upaya untuk mendorong peningkatan kaum perempuan di ranah politik secara serius, dengan menggunakan sistem perekrutan, kaderisasi, hingga alokasi dukungan kepemimpinan perempuan secara jelas. Dengan begitu perempuan tetap dilibat dan tidak dipandang sebelah mata.

Riris juga berharap agar Mahkamah Konstitusi (MK) lebih objektif dalam memutuskan sistem Pemilu di tahun 2024 mendatang dengan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka dan mengedepankan pemilu yang adil dan jujur. 

Menurutnya, pemerintah harus turut andil mengambil peran dengan memberikan kesadaran kepada publik terhadap isu yang berkembang selama ini di tengah masyarakat yaitu “perempuan lemah dalam memimpin”.

"Harus beri ruang dan jangan memberikan stigma dan kita juga harus ada semangat yang sama untuk mendukung itu," kata Riris.