Forum LSM Aceh dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) melayangkan petisi menuntut agar eksekusi terhadap perusahaan kelapa sawit PT. Kallista Alam segera diambil alih oleh Mahkamah Agung (MA). Petisi itu dikeluarkan karena Pengadilan Negeri Suka Makmue, Nagan Raya, lamban menjalankan kewenangannya.
- HAkA Sebut Sistem Pengelolaan Air di Aceh Sudah Rusak
- Disdik Aceh Resmikan Program Penanaman Satu Juta Pohon
- Besok Masyarakat Bunin dan Mahasiswa akan Gelar Aksi di BPN dan DPR Aceh
Baca Juga
Sekretaris Jenderal Forum LSM Aceh, Sudirman Hasan, menjelaskan tidak ada ganjalan hukum apapun yang dapat menghalangi eksekusi terhadap PT Kallista Alam. Seharusnya, eksekusi bisa dilaksanakan empat tahun lalu.
“Tapi selalu tertunda sebab PN Suka Makmue ragu menjalankannya,” kata Sudirman, saat konferensi pers di Leuser Conservation Training Centre (LCTC), Selasa, 12 Oktober 2021.
Padahal, kata dia, ketua PN Suka Makmue sudah mengambil sumpah tim penilai aseet (appraisal). Sayangnya, PN Suka Makmue enggan menugaskan juru sita mendampingi tim appraisal di lapangan. Sehingga proses appraisal selalu gagal. “Kegagalan itu yang membuat eksekusi tidak berjalan sampai saat ini,” kata Sudirman.
Untuk itu, kata Sudirman, Forum LSM Aceh dan Yayasan HAkA menggagas petisi yang menuntut agar MA mengambil alih kewenangan eksekusi tersebut. Pengambil alihan itu, kata dia, sah menurut hukum.
Sebelumnya, anggota Pokja Lingkungan MA, Sugeng Riyono, mengatakan kalau eksekusi terhadap PT. Kallista Alam itu tidak semudah eksekusi kasus lainnya. Ia mengaku ada kekosongan hukum terhadap eksekusi tersebut.
“Tapi kekosongan hukum ini seharusnya bisa diatasi melalui proses Judicial activism,” kata Sugeng Riyono. Masalahnya, kata Sugeng, ketua PN Suka Makmue tidak berani melakukan langkah terobosan hukum tersebut.
PT Kallista Alam telah membakar sekitar 1.000 hektar di area lahan gambut Rawa Tripa, Nagan Raya dari 2009 hingga 2012. Padahal area itu merupakan kawasan hutan lindung. Seharusnya dijaga dan dilestarikan.
Justru PT Kallista Alam membakar lahan tersebut untuk dijadikan perkebuanan kelapa sawit. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia pada 15 Juli 2014 silam melayangkan gugatan ke PN Meulaboh.
Setelah proses sidang yang panjang, PN Meulaboh memvonis PT Kallista Alam bersalah dan wajib membayar ganti rugi Rp 366 miliar. Dengan rincian Rp114,3 miliar ke kas negara dan membayar dana pemulihan lahan Rp 251,7 miliar.
Berbagai upaya perlawanan terus dilakukan PT Kallista Alam untuk membatalkan putusan itu. Namun sampai di tingkat PK, Mahkamah Agung tetap memenangkan Kementerian LHK selaku penggugat. Putusan bersifat inkracht dan harus dieksekusi.
Untuk proses eksekusi, PN Meulaboh telah mendelegasikan kewenangan kepada PN Suka Makmue. Sebelumnya kasus ini ditangani PN Meulaboh karena saat sengketa muncul, belum ada pengadilan di Nagan Raya sebagai daerah pemekaran baru. Pada awal 2019 barulah PN Suka Makmue terbentuk, sehingga kewenangan eksekusi didelegasikan kepada PN Suka Makmue.
Namun sangat disayangkan, PN Suka Makmue memiliki penafsiran berbeda soal kewenangan atas eksekusi lelang asset PT Kallista Alam itu. Mereka merasa kewenangan yang diberikan tidak lengkap, sebab tidak ada putusan yang menegaskan PN Suka Makmue berhak masuk ke lokasi PT Kallista Alam dan berhak menilai asset yang akan dilelang. Mereka menuntut adanya amar putusan baru yang menegaskan hak tersebut. Selagi amar putusan belum ada, PN Suka Makmue tidak mau masuk ke lokasi sengketa.
Anehnya, pada Februari 2019 Ketua PN Suka Makmue justru telah mengukuhkan dan mengambil sumpah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) selaku pihak yang melakukan appraisal terhadap asset yang akan disita. KJPP yang telah ditetapkan itu adalah Pung’s Zulkarnain dan Rekan.
Hanya saja, saat KJPP hendak melakukan penghitungan nilai asset di lokasi yang akan disita, mereka diusir oleh petugas PT Kallista Alam karena tidak ada pendampingan dari juru sita PN Suka Makmue. Dua kali KJPP Pung’s Zulkarnain dan Tim Kementerian LHK masuk ke lahan PT Kallista Alam, dua kali pula mereka dihandang. Padahal tim itu didampingi petugas dari Polda Aceh dan Polres Nagan Raya.
Jasmin Ragil Utomo dari Kementerian LHK menuding PN Suka Makmue sebagai penyebab gagalnya eksekusi ini, karena enggan mendampingi tim appraisal ke lapangan. “Mereka sudah menetapkan KJPP, tapi kerja KJPP di lapangan tidak didampingi,” kata Ragil.
Oleh sebab itu, Kementerian LHK sepekat kalau kasus ini segera diambil alih oleh MA agar proses eksekusi dapat dilakukan secepat mungkin.
Putusan terhadap PT Kallista Alam itu sempat mendapat sorotan internasional karena diaanggap merupakan sikap tegas system peradilan di Indonesia dalam menindak perusahaan besar perusak lingkungan. Atas putusan ini, pegiat lingkungan dunia sempat memberikan pujian bagi istem peradilan di Indonesia karena dianggap peduli dengan upaya pelestarian alam. Tapi sayang sekali, sampai saat ini eksekusi itu hanya di atas kertas, sebab tidak juga bisa dilaksanakan.
- Pembayaran Biaya Perkara di Lingkup MA Kini Bisa Melalui Virtual Account
- Wewenang Implisit
- HAkA Sebut Sistem Pengelolaan Air di Aceh Sudah Rusak