Gadis Berhijab di Tim Barongsai, Wujud Perekat Toleransi di Aceh 

Ratih (baju merah berjilbab) bersama tim Golden Dragon saat pertunjukkan Barongsai di jalanan Peunayong, Banda Aceh  Foto: Helena Sari/RMOLAceh.    
Ratih (baju merah berjilbab) bersama tim Golden Dragon saat pertunjukkan Barongsai di jalanan Peunayong, Banda Aceh Foto: Helena Sari/RMOLAceh.   

Suara simbal dan gong menggema mengiringi gerakan lincah Barongsai yang menari di tengah seratusan warga Banda Aceh yang ikut memadati Vihara Buddha Sakyamuni pada perayaan imlek, Ahad, 22 Januari 2023 kemarin.


Diantaranya pemain Barongsai tersebut tampak seorang gadis beragama Islam, berjilbab yang sibuk membenturkan simbal sembari sesekali menengok kiri kanan. Sesekali gadis itu mengucapkan “hoh”. Gadis berjilbab itu bernama Ratih Puspasari (25).

Ratih adalah gadis non Tionghoa dan muslimah pertama yang menjadi atlet Barongsai Golden Dragon. Namun saat ini selain Ratih, ada penambahan anggota perempuan berdarah Aceh. Pada penampilan Imlek kemarin, terlihat ada sekitar ada empat orang gadis Aceh lainnya yang juga ikut sebagai atlet Barongsai.

Meskipun Aceh memiliki aturan syariat Islam yang sangat ketat, namun bukan berarti Aceh tertutup dengan etnis lain. Tingginya toleransi antar umat beragama terlihat nyata di Aceh.

Ratih saat pertunjukkan barongsai di jalanan Peunayong . Foto: Helena Sari/RMOLAceh. 

Ratih yang merupakan gadis kelahiran tahun 1997, sangat bersemangat tidak canggung sama sekali saat dirinya memainkan alat musik dan mengikuti hentakan gong. Pertama kali tertarik untuk menjadi pemain Barongsai munculnsaat perayaan Waisak tahun 2013,” 

Ketertarikan itu muncul saat Ratih melihat Barongsai sebagai atraksi hiburan sakral dan unik. Dia kemudian bertekad untuk terlibat langsung memainkan salah satu alat musik.

“Lihat Barongsai sama temen, trus tertarik pengen ikut, akhirnya daftar dan bergabung deh dengan Golden Dragon,” kata Ratih kepada Kantor Berita RMOLAceh.

Keinginan Ratih untuk bergabung dengan tim Barongsai sempat mendapatkan penolakan dari kedua keluarga. Kedua orangtuanya menilai Barongsai bukan budaya Aceh, “Gak usah sering-sering kali itu berhubungan sama orang-orang di Golden Dragon,” kata Ratih menirukan ucapan sang Ayah.

Namun seiring waktu berjalan, dengan perlahan hati Ayah Ratih melunak. Hal tersebut dikarenakan Ratih tidak pernah mengecewakan orang tuanya terkait persoalan akidah. 

Apalagi saat ayah melihat banyak prestasi yang saya raih bersama tim," ujar   Ratih.

Saat ini, sudah menginjak sepuluh tahun Ratih menjadi atlet Barongsai. Sejumlah perlombaan Barongsai sudah diikutinya, baik turnamen tingkat nasional hingga internasional.

“Yang paling bergengsi turnamen antar negara di Kota Gongyi Tiongkok tahun 2019, di ajang tersebut, Golden Dragon terpilih sebagai tim dengan performa terbaik,” ujar Ratih.

Toleransi Hangat Antar Sesama

Ratih mengaku, selain dukungan dari keluarga perlakuan hangat sesama di tim Golden Dragon membuat dirinya percaya terhadap nilai tenggang rasa antar umat beragama.

“Mereka (tim etnis Tionghoa) sering ngingetin (sholat), walau kami beda, intinya mereka terbaiklah. Mereka ga pernah memandang ooo ini berhijab, semua sama saja," ujarnya.

Ratih mengaku sangat terharu saat teman-teman mengingatkan ibadah dan selalu memperhatikan aurat. “Kalau azan tu, mereka duluan yang ngingetin untuk sholat dulu. Kalau lagi pertunjukkan ada rambut yang terlihat keluar dari hijab, mereka juga suka ingetin buat rapiin,” cerita Ratih.

Sekilas tentang Etnis Tionghoa Aceh 

Sejarah masa lampau mencatat etnis Tionghoa sudah menghuni daerah Peunayong sejak abad 17. Hal tersebut dibenarkan oleh Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Mawardi.

Mawardi mengatakan etnis Tionghoa mulai masuk ke Aceh tahun 1875. Saat itu penjajahan Belanda mempekerjakan Etnis Tionghoa kawasan militer. Ketika itu jumlah etnis yang dibawa hanya 190 orang. Seiring lamanya penjajahan, semakin banyak etnis Tiongkok dibawa masuk ke Aceh.  

“Selat Malaka jadi pintu masuk mereka, dan Aceh berada di pintu tersebut, Aceh jadi wilayah persinggahan,” sebutnya.        

Kemudian Etnis Tionghoa bermukim di kawasan Peunayong. Nama Peunayong sendiri diambil dari Bahasa Aceh "Peu Payong" yang berarti memayungi.

“Dahulu, Peunayong itu kebun kelapa, tapi jaman terus berkembang dengan aktifitas ibukota, kini daerah tersebut berkembang jadi pusat bisnis,” ujar Mawardi.

Mawardi membenarkan hadirnya etnis Tionghoa tidak pernah diganggu oleh penduduk muslim di Aceh, baik dari segi rumah ibadah dan organisasi. Mereka terus melahirkan setiap generasi tanpa terusik.

“Ini cerminan bahwa penerapan syariat Islam sangat penting, dengan menjamin kepercayaan dan agama masyarakat lain,” ujar Mawardi.