GeRAK Minta KY Supervisi dan Evaluasi Majelis Hakim Tipikor Banda Aceh

Potongan surat GeRAK Aceh kepada KY. Foto: Dok GeRAK Aceh untuk Kantor Berita RMOLAceh.
Potongan surat GeRAK Aceh kepada KY. Foto: Dok GeRAK Aceh untuk Kantor Berita RMOLAceh.

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh meminta Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan supervisi dan evaluasi kinerja Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh. Hal tersebut disampaikan koordinator GeRAK Aceh, Askhlani dalam surat Nomor: 082/B/G-Aceh/XI/2022 tertanggal 15 November 2022, yang ditujukan kepada Ketua KY.


Dalam suratnya, Askhlani menyampaikan beberapa hal substansi dan urgen untuk dapat ditindaklanjuti, terkait hasil kinerja Majelis Hakim Tipikor Banda Aceh. 

Berdasarkan hasil monitoring dan pemantauan GeRAK, ditemukan fakta bahwa terdapat 11 Perkara tindak pidana korupsi yang terbukti divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh sejak tahun 2020-2022.

"Sebagian besar perkara tersebut adalah perkara tindak pidana korupsi yang mendapat atensi besar dari publik karena berhubungan dengan hajat hidup orang banyak," sebut Askhlani dalam surat yang diperoleh Kantor Berita RMOLAceh, Kamis, 17 November 2022.

Menurut Askhlani, dari total 11 perkara Tipikor yang divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh, terdapat enam perkara yang pada tingkat Kasasi terbukti secara hukum, melakukan perbuatan pidana dan dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung. 

"Sedangkan lima perkara lainnya saat ini sedang dalam proses Kasasi dan menunggu putusan akhir dari Mahkamah Agung," sebut Askhlani dalam suratnya.

Askhlani mengatakan, jika merujuk pada 11 perkara yang divonis Bebas oleh Majelis Hakim Tipikor Banda Aceh, terdapat beberapa hal yang sangat janggal secara hukum atas sejumlah putusan dan vonis bebas tersebut. Serta patut diduga adanya konflik kepentingan (interes) lainnya.

"Adanya dugaan lain yang menyebabkan putusan vonis bebas tersebut cacat hukum," sebut Askhlani.

Askhlani mengatakan pihaknya menduga dalam pengambilan keputusan (vonis) Majelis Hakim tidak independen dan bukan berdasarkan fakta persidangan tetapi dilatar belakangi adanya dugaan permufakatan jahat yang menyebabkan 11 perkara tersebut divonis bebas.

"Kondisi ini sangat berbeda dengan hasil Kasasi yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Mahkamah Agung, dimana vonis Bebas dari Majelis Hakim tingkat pertama (Tipikor) Banda Aceh. Kemudian terbukti gugur dan perkara-perkara tersebut secara hukum, terbukti adanya perbuatan pidana yang menyebabkan para pihak dijatuhi hukuman pidana," sebut Askhlani.

Selain putusan bebas menurut Askhlani,  terdapat juga beberapa izin penangguhan penahanan terhadap terdakwa kasus korupsi yang sedang disidangkan, yang kemudian dikabulkan oleh Majelis Hakim Tipikor Banda Aceh.

"Pemberian izin penangguhan penahanan dari tahanan kurungan badan menjadi tahanan kota telah menimbulkan kegaduhan dan keanehan dari publik di Aceh, karena pemberian izin penangguhan penahanan ini tergolong tebang pilih antara terdakwa perkara korupsi tertentu dengan perkara korupsi lain yang sedang disidangkan," sebut Askhal dalam surat yang juga ditembuskan kepada MA dan Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dan anggota Komisi III DPR RI, Nazaruddin Dek Gam.

Menurut Askhlani, pemberian izin tersebut patut diduga adanya benturan kepentingan antara para terdakwa dengan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut, serta adanya penolakan secara langsung dari JPU.

Berdasarkan fakta-fakta kajian tersebut, maka menurut Askhlani, sudah sewajarnya KY bersama dengan MA dan KPK untuk dapat melakukan monitoring mendalam terhadap sejumlah keputusan izin penangguhan penahanan yang diberikan kepada terdakwa dan vonis bebas janggal atas perkara korupsi yang selama ini ditangani oleh Majelis Hakim Tipikor Banda Aceh.

GeRAK juga meminta KY, melakukan reformasi birokrasi peradilan termasuk restrukturisasi Majelis Hakim Tipikor yang selama ini menimbulkan kegaduhan dalam pengambilan keputusan serta adanya batas waktu tertentu bagi Majelis Hakim baik Ad Hoc maupun Internal untuk bertugas disuatu wilayah.

"Sebab beberapa hal faktor benturan kepentingan terjadi secara terus menerus, karena Majelis Hakim terlalu lama bertugas di suatu tempat sehingga telah menimbulkan dampak negatif dalam berperkara, terutama adanya dugaan konspirasi dengan para pengacara yang menangani perkara," sebut Askhlani dalam suratnya.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka menurut Askhlani, sudah sangat sewajarnya KY segera dapat melakukan kajian monitoring dan supervisi, serta penyadapan terhadap kinerja Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh. 

"Karena beberapa keputusan yang telah dikeluarkan menimbulkan dampak negatif dari publik terhadap kinerja Peradilan dan menurunkan kepercayaan atas kinerja Majelis Hakim Pengadilan Tipikor di Indonesia," sebut Askhlani pada bagian penutup suratnya.