GeRAK sebut Koruptor akan Semakin Menjamur Pasca Pengesahan RKUHP 

Koordinator GeRAK, Askhlani. Foto: AJNN.
Koordinator GeRAK, Askhlani. Foto: AJNN.

Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (RKUHP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada selasa 6 Desember 2022, mendapat sorotan dari Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh. Hal yang disorot terutama pada pasal 603 yang mengatur tindak pidana korupsi dengan penjara minimal 2 tahun dan maksimal 20 tahun.


"Pasal tersebut akan meningkatkan angka korupsi dan menjamurnya para koruptor di Indonesia," kata Koordinator Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Askhlani kepada Kantor Berita RMOLAceh, Rabu, 7 Desember 2022.

Askhlani menjelaskan bahwa dalam pasal 603 disebutkan "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI".

"Padahal sebelumnya pada Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam pasal 2 disebutkan kalau pelaku tindak pidana korupsi bisa mendapat pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun," ujar Askhlani.

Tidak hanya itu, menurut Askhal, dalam naskah RKUHP pasal 603 itu disebutkan koruptor hanya membayar denda minimal Rp 10 juta dan maksimal Rp 2 Miliar. Sedangkan sebelumnya dalam UU No 20/2001 koruptor didenda paling sedikit Rp200 juta.

Dengan fenomena yang terjadi saat ini, kata Askhal, seharusnya Undang-undang diciptakan untuk dapat menekan dan memberantas korupsi dan kejahatan. Apabila hukuman yang diterapkan di dalam Undang-undang sangat berat, maka para pelaku kejahatan dapat berfikir dan mengurungkan niatnya.

"Dengan ancaman hukum yang rendah membuat para koruptor ini bukannya semakin takut, malah akan membuat semakin tumbuh korupsi di Indonesia," ujarnya.

Menurut Askhlani, seharusnya UU itu seharusnya menjadikan orang-orang tidak melakukan tindak kejahatan. Hukuman yang berat dan tinggi akan membuat orang akan berpikir ulang untuk melakukan tindak kejahatan, karena ancamannya lebih tinggi.

"Seharusnya eksekutif dan legislatif dapat belajar dari pengalaman sebelumnya dimana pada UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi meskipun ancaman hukuman berat, tetapi pada masa itu angka korupsi juga melonjak tinggi," ujar pria yang juga berprofesi sebagai Advokat tersebut.

Lebih lanjut Askhal mengatakan bahwa dapat dipastikan dengan ancaman pidana ringan, akan ada kecenderungan kejahatan pidana korupsi menjadi lebih banyak. "Dalam UU 31 tahun 1999 ancaman hukumannya tinggi, tetapi tingkat korupsi juga tinggi, harusnya ini menjadi pembelajaran menjadi para pembuat kebijakan," ujarnya 

Selain itu, Askhalani juga menduga RKUHP yang baru ini disahkan, tidak terlepas dari motif dari kepentingan-kepentingan politik dari pihak tertentu. Menurutnya, mereka ingin menyelamatkan diri dan memperdaya hukum di Indonesia.

"Jadi memang dari semangat KUHP ini motif dari kepentingan-kepentingan politik pihak tertentu, apalagi naskah ini tidak dibuka secara langsung dan hanya diketahui pemerintah dan DPR saja, sementara yang berhubungan delik perkara tidak tau sama sekali rentetan peristiwa hukum," ujar Askhal.

Askhal mengatakan, publik pasti akan tetap mempersoalkan masalah tersebut dengan melakukan uji materil terhadap produk hukum yang telah dikeluarkan.

"Kita tidak dapat mendesak apa-apa lagi, salah satu hal tadi yaitu melakukan uji material. Siapa yang melakukan ini, yaitu orang-orang yang  memiliki korelasi seperti teman-teman yang ada di nasional," kata Askhal.