Giliran Buruh Unjuk Rasa di DPR Aceh, Tuntut Kenaikan Upah Hingga Tolak Kenaikan BBM

Buruh saat berunjuk rasa di Kantor DPR Aceh. Foto: Fahmi/RMOLAceh.
Buruh saat berunjuk rasa di Kantor DPR Aceh. Foto: Fahmi/RMOLAceh.

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Aceh, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) dan Aliansi Buruh Aceh (ABA), berunjuk rasa di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. Mereka menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan menolak kenaikan bahan bakar minyak (BBM).


"Kebijakan menaikan harga BBM ini sangat menghimpit ekonomi masyarakat, tidak terkecuali bagi kaum pekerja buruh," kata sekretaris ABA, Habibi Inseun, di sela-sela aksi, Kamis, 8 September 2022.

Semestinya, kata dia, pemerintah berupaya memulihkan kondisi ekonomi rakyat dengan berbagai strategi. Seperti subsidi dan stabilisasi harga sembako dan biaya lainnya.

“Bukan dengan menaikan harga BBM yang berdampak langsung terhadap merosotnya daya beli dan meroketnya biaya hidup masyarakat,” ujar dia.

Menurut Habibi, akibat kenaikan BBM harga transportasi naik hingga 30 persen. Lalu, diikuti harga barang yang lain yang mahal akibat bertambah nilai pendistribusian barang. Sedangkan pendapatan tidak bertambah.

Kejadian ini, menurut Habibi, sangat bertolak belakang dengan UMP yang diterima pekerja atau buruh. “Kebijakan upah selama dua tahun tidak mengalami kenaikan, UMP 2022 hanya naik seribu rupiah,” sebutnya. “Ditambah lagi munculnya Undang-Undang Cipta Kerja yang memangkas serta membatasi kenaikan upah minimum yang menyulitkan para pekerja.”

Habibi menilai, buruh dan keluarganya telah dizalimi oleh pemerintah. Kenaikan harga BBM saat ini tentu akan memperparah kondisi ekonomi buruh dan masyarakat Aceh.

Untuk itu, Habibi meminta Pemerintah Aceh menaikkan UMP pekerja yang lebih layak demi kesejahteraan buruh. Serta merevisi dan pengesahan qanun ketenagakerjaan Aceh, agar mendapatkan kepastian hukum.

"Kita meminta dan menuntut pemerinta Aceh agar menyesuaikan UMP Aceh tahun 2023 sebesar 20 persen kenaikannya," ujar Habibi.

Menurut Habibi, semakin tahun persoalan ketenagakerjaan di Aceh makin rumit. Mulai dari penerapan upah tidak layak, sistem outsourcing yang tidak terkontrol, pelanggaran dan intimidasi terhadap kebebasan berserikat hingga pekerja yang di Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak tanpa mendapatkan haknya, masalah yang dialami tenaga kontrak, honorer, driver online (ojol) yang kurang mendapat perhatian serius.

Oleh karena itu, kata Habibi, peran pengawas penegak norma ketenagakerjaan sangat penting. Sehingga masalah ketenagakerjaan dapat diatasi.

“Selain itu peran mediator ketenagakerjaan harus lebih optimal dalam melakukan pembinaan bagi perusahaan,” kata dia. “Sehingga tidak mengulur ulur waktu penyelesaian masalah seperti yang dialami banyak pekerja di Banda Aceh.”