Gus Dur di Tubuh Perempuan

Ilustrasi. Foto: net.
Ilustrasi. Foto: net.

ZANNUBA Ariffah Chafsoh alias Yenny Wahid merupakan salah satu dari tiga perempuan Indonesia yang masuk dalam bursa calon kepemimpinan nasional.

Selain Puan Maharani (Ketua DPR RI) dan Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur), Yenny Wahid dipasang-pasangkan dengan dua calon kuat presiden.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menduetkan Yenny Wahid dengan Ganjar Pranowo. Dan Nasdem menggulirkan Yenny Wahid dengan Anies Rasyid Baswedan.

Tiba-tiba, Yenny Wahid menjadi tokoh perempuan paling seksi di belantika politik Indonesia. Putri kedua Presiden Abdurrahman Wahid dalam benak publik dinilai punya kelayakan sebagai wakil presiden mendampingi Ganjar atau Anies.

Padahal, karir Yenny Wahid tidak sementereng Puan atau Khofifah. Namun, sebagai trah Presiden Gus Dur, aktivis Nahdlatul Ulama (NU), punya rekam jejak yang bagus, dipandang punya daya ungkit bagi kemenangan pasangan calon presiden.

Pengalaman politik Yenny Wahid taklah mulus. Istri politisi Gerindra, Dzahir Farisi, terdepak dari posisi sebagai Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) periode 2005-2010. Ini akibat konflik internal yang dimenangkan oleh kubu A Muhaimin Iskandar.

Kemudian, Yenny Wahid mencoba keberuntungan politiknya dengan membidani Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB). Namun, partai ini tidak lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta pemilu 2014.

Pengalaman Yenny Wahid di pemerintahan masih terbatas. Perempuan kelahiran Jombang, 29 Oktober 1974 pernah menjadi staf khusus bidang komunikasi politik di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun cuma berlangsung satu tahun. Ia memilih mundur dan berkonsentrasi sebagai Sekjen PKB.

Yenny Wahid di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo pernah menjadi Komisaris Independen Garuda Indonesia.Tapi tak bertahan lama juga.

Lagi-lagi, ia mengundurkan diri karena maskapai penerbangan milik pemerintah ini sedang mengalami krisis keuangan. Ia mundur untuk mengurangi beban biaya dan berkorban demi efisiensi perusahaan.

Nampak, pengunduran diri Yenny Wahid dari berbagai jabatan strategis yang menjanjikan cuan, membuktikannya tidak kemaruk pada kekuasaan dan tidak pula memuja uang. Jabatan publik lebih dimaknai sebagai jalan pengabdian, seperti bapaknya, Presiden Gus Dur.

Yenny Wahid lebih menikmati sebagai Direktur Wahid Institute yang didedikasikan untuk menjaga, merawat dan mengembangkan pemikiran Gus Dur. Lembaga yang didirikan pada 7 September 2004 ini banyak melakukan kegiatan berikut:

Pertama, kampanye Islam, demokrasi dan pluralisme.

Kedua, peningkatan kapasitas muslim progresif.

Ketiga, monitoring terhadap isu keagamaan.

Keempat, melakukan advokasi terhadap kebijakan publik dan kaum minoritas.

Kelima, pemberdayaan akar rumput.

Keenam, pengembangan Koperasi Cinta Damai Wahid Institue (KOCIDA WI).

Ketujuh, dompet Gus Dur untuk kemanusiaan.

Kedelapan, pengembangan Center For Islam and Southeast Asian Studies (CISEAS).

Kesembilan, pemberian beasiswa Riyanto.

Kesepuluh, melakukan riset, menggelar diskusi, seminar dan dialog, dan seterusnya.

Yenny Wahid pula terkesan lebih suka fokus sebagai Ketua Pelaksana Peringatan Satu Abad NU, daripada merespons wacana menduetkannya sebagai wakil presiden. Ibu tiga anak ini sedang asyik masyuk dalam panggung besar ke-NU-an.

Suatu organisasi muslim terbesar di dunia yang lahir dan besar bersamaan dengan perjalanan hidup keluarganya, semenjak Hadratus Syeikh KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim sampai dengan Gus Dur.

Memang, peran dan kiprah Yenny Wahid sekarang lebih besar di NU setelah terjadi suksesi kepemimpinan PBNU. Wabilkhusus usai pergantian ketua umum dari KH Said Aqiel Siradj kepada KH Yahya Cholil Staquf. Sebab, Gus Yahya dalam kampanye perebutan kursi Ketua Umum PBNU adalah menghidupkan Gus Dur.

Selaras dengan itu, adalah benar pendapat yang menyatakan Yenny Wahid adalah Gus Dur dalam tubuh perempuan. Ia mewarisi bait syair politik dan kemanusiaan Gus Dur. Tanpa menafikan putri Gus Dur yang lain, ia yang paling banyak mendampingi bapaknya dalam suka dan duka.

Yenny Wahid adalah penerus trah politik Gus Dur yang paling otentik. Hubungan yang luas di dalam maupun di luar negeri, berkah dari mendampingi Gus Dur menemui berbagai tokoh besar dunia.

Disamping, Yenny Wahid sendiri  punya pengalaman lapangan luar biasa, sampai sempat ditodong pistol dalam melakukan liputan jurnalisme untuk media harian The Sydney Morning Herald dan The Age.

Pengalaman sebagai wartawan, pendamping Presiden Gus Dur, melewati konflik internal partai, serta kiprah menjadi narasumber internasional, telah mematangkan pribadi Yenny Wahid sebagai aktivis politik dan sosial sejati.

Kini, Yenny Wahid menuai hasilnya. Peran dan kiprahnya yang berliku-liku di panggung politik, sampai terjungkal dari partai yang dideklarasikan oleh bapaknya. Publik mengapresiasi dengan memunculkan namanya sebagai calon wakil presiden.

Lulusan Magister Administrasi Publik dari Havard University ini punya kans yang sama dengan Cak Imin maju sebagai calon wakil presiden. Inilah dialektika sejarah. Politisi tanpa partai dengan politisi dengan partai, diperlakukan sama.

Bahkan, satu dekade terakhir kemewahan posisi sebagai ketua umum partai justru menjadi sandungan dalam meraih jabatan publik. Hasil semua survei menemukan bahwa rakyat lebih percaya pada tokoh di luar partai.

| Penulis adalah Pendiri Eksan Institute.