Hidup Penuh Warna Azwir Nazar di Koran Tertua Jepang

Azwir Nazar di laman koran Jepang. Foto: Irfan Habibi.
Azwir Nazar di laman koran Jepang. Foto: Irfan Habibi.

Sebuah harian tertua di Jepang, The Tō-Ō Nippō Press meliput secara eksklusif kisah inspiratif seorang pemuda Aceh yang bernama Azwir Nazar, asal Aceh Besar. Dedikasi dan perjuangan hidup Azwir dianggap menarik dan penuh makna bukan saja bagi tanah kelahirannya, namun juga menginspirasi masyarakat dunia.


Azwir adalah korban tsunami Aceh, 26 Desember 2004 silam. Dia bangkit hingga mendapatkan beasiswa kuliah S3 bergengsi Pemerintah Turki sejak 2013 di Hacettepe University, Ankara. Strata S1-nya diselesaikan pada jurusan Tadris Bahasa Arab UIN Ar Raniry (2007) dan S2 Komunikasi Politik Universitas Indonesia (2010) di Jakarta. 

“Kami datang khusus ke Aceh untuk meliput Pak Azwir Nazar,” ujar Kepala Biro Umum Kyodo Internasional Jepang, Kentaro Okada, di Banda Aceh, dalam keterangan tertulis, Jumat, 19 Maret 2021. Okada datang bersama tim untuk mendengar langsung kisah Azwir dan Cahaya Aceh yang inspiratif dari sebuah kampung Tsunami. Kisah-kisah seperti ini, kata Okada, akan sangat berguna bagi aak-anak dan masyarakat Jepang.

Azwir, menurut Okada, adalah kisah fenomenal. Azwir yang kehilangan orang tua dan adik-adiknya bangkit dan membantu orang lain. Itu sangat berharga dan luar biasa. Apalagi Azwir pernah tinggal di Jakarta dan Turki. Kemudia dia mau pulang kampung membangun sebuah balai yang sederhana. 

Liputan berbahasa Jepang tersebut juga menyebutkan bahwa Azwir dan satu-satunya saudara kandung tersisa, Mushalin, tetap semangat untuk meraih masa depan. Azwir dikenal berprestasi dan aktif sejak di Aceh, Jakarta di diberbagai organisasi pelajar, mahasiswa, dayah, kepemudaan hingga aktivis kemanusiaan. 

Dia juga pernah bekerja di beberapa NGO baik lokal maupun Internasional saat rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami. Azwir pernah menjadi pembicara dalam Internasional Peace Conference di Korea Selatan pada Mei 2006 serta Internasional Solidarity Mission to Mindano, Oktober 2008 di berbagai kota di Filipina. 

Di Turki, Azwir dikenal sebagia pria sederhana. Dia suka menziarahi makam para nabi dan wali ini. Di Turki, Azwir menjadi Presiden Pelajar Indonesia. Peran penting Azwir saat mengadvokasi para pelajar yang terdampak kudeta Turki. Pada 2006, membuatnya sangat popular baik di kalangan para pelajar Indonesia di seluruh dunia maupun masyarakat Indonesia di Tanah Air.

Lantas Azwir kembali ke Aceh. Dia mendirikan Cahaya Aceh. Melalui kampanye di media sosial, Cahaya Aceh kemudian membangun satu balai edukasi dan taman baca gratis bagi anak-anak dan warga yang ingin belajar. 

Cahaya Aceh menjadi magnet sejumlah anak muda di Aceh untuk terlibat dan berkontribusi. Banyak di antara mereka yang mau mengajar adik-adik secara sukarela. Okada mengatakan langkah kecil ini harus terus diayunkan bersama. Sehingga Cahaya Aceh dapat dirasakan manfaat dan dikenal oleh masyarakat.

Balai Cahaya Aceh itu dibangun dengan konstruksi kayu. Bentuknya mirip rumoh Aceh. Di bagian atas, Azwir menjadikannya sebagai pusat belajar sedangkan di lantai dasar dipakai untuk pustaka dan aktivitas pendukung. 

Di sini, anak-anak usia 5-15 tahun dapat mempelajari Alquran, bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Turki, menari, melukis, memanah, dan banyak lagi kegiatan untuk anak-anak. Balai ini juga digunakan untuk pembinaan dan pengajian ibu-ibu dan warga. Semuanya gratis. 

Harian The Tō-Ō Nippō Press yang terbit pertama sekali 6 Desember 1888 di Provinsi Amouri, Jepang juga mengulas kisah heroik Founder Cahaya Aceh tersebut yang memulai hidup di tenda usai selamat dari tsunami dengan tidak berputus asa dan bangkit untuk menyalakan lilin perubahan. Cerita itu dapat diakses di https://this.kiji.is/733697191091404800

Dalam tulisan itu, Azwir mengatakan tsunami membawa berkah tersendiri baginya. Dia bisa meneruskan pendidikan hingga ke Turki dan dapat mengelilingi banyak tempat di dunia. Dia berharap anak-anak lain, yang ekonominya kurang beruntung, anak-anak yatim piatu, juga dapat memperoleh pendidikan lebih baik dan berakhlak terpuji.

Azwir mengatakan tak pelru menyalahkan keadaan. Manusia jangan berputus asa dan jangan terlalu bergantung pada pemerintah. Saatnya kita berpikir apa yang dapat kita berikan untuk sesama. “Mulailah dari yang kecil dan sederhana. Insya Allah akan banyak manfaat,” kata Azwir.

Azwir mengatakan sebagaimana semangat orang Jepang yang pantang menyerah, sebenarnya orang Aceh dulu juga begitu. Banyak berkorban, selalu berjuang. Tantangan pasti ada. Itu namanya hidup.