Hikayat Kebohongan

Ilustrasi: The Saturday Evening Post.
Ilustrasi: The Saturday Evening Post.

BOHONG tetaplah bohong! Sepanjang sejarah kehidupan manusia, kebohongan selalu menyertai. Dalam konteks tersebut, kita perlu meninjau kembali argumen post-truth yang seolah menandai suatu periode baru di babak modern.

Pertanyaannya, kalau saat ini disebut sebagai era pascakebenaran, apakah masa-masa sebelumnya dipenuhi dengan muatan kebenaran? Tesis tersebut dikemukakan Tom Phillips, dalam buku, "Truth: Sejarah Singkat Tentang Omong Kosong", 2019.

Sebagaimana premis awalnya, Tom yang juga menjadi jurnalis dan editor FullFact di Inggris memulai kajiannya dengan membongkar makna post-truth, sebuah kata yang masuk ke dalam Oxford Dictionaries 2016, sebagai kondisi bila fakta tidak lagi menjadi relevan.

Dengan begitu, kebenaran dan kebohongan menjadi tercampur dan sulit dibedakan. Bagi Tom, penyebutan era post-truth mengandaikan bahwa stuktur susunan peradaban manusia sebelumnya diisi dengan kejujuran dan kebenaran, padahal tidak demikian, menurutnya.

Dalam buku setebal 266 halaman tersebut, Tom mencoba melacak jejak sejarah berbagai kebohongan yang dilakukan di muka bumi untuk membuktikan bahwa kebohongan adalah bagian dari realitas kehidupan secara tidak terpisahkan. Sebuah upaya yang tidak mudah.

Kebenaran lekat dengan fakta dan realitas, sedangkan kebohongan adalah antitesisnya, dipenuhi dengan prasangka dan ilusi manipulatif. Realitas juga dapat dikonstruksi dari tumpukan informasi palsu, sehingga kebenaran dan fakta ibarat “jauh panggang dari api”.

Berbohong dan kebohongan disebabkan berbagai hal, termasuk (i) vakumnya informasi, (ii) bias persepsi dan interpretasi momentum, hingga (iii) ketidakmampuan memajukan perspektif kritis. Level tindak kebohongan merasuk mulai dari level individu hingga negara.

Belum percaya? Baik, kita ambil satu kasus yang menarik dari berbagai kisah dalam buku tersebut mengenai berbagai fenomena kebohongan yang tercatat melegenda. Kita masuk ke sebuah peristiwa kebohongan yang terjadi Paris pada 1778.

Kala itu, istri dari Raja Louis XVI-Marie Antoinette menjadi influencer bagi klinik medis Dr Anton Mesmer, tentang kemampuan mengatasi persoalan medis hanya dengan memegang batang besi. Pada akhirnya, praktik palsu itu terbongkar dan Dr Mesmer diusir.

Untaian Bohong

Hasil telaah Tom dalam buku tersebut, lebih banyak berbicara tentang berbagai fakta yang berserak dan terentang pada berbagai wilayah di dunia. Kesimpulan sederhananya dari berbagai kejadian tersebut, (i) sebuah kebohongan diteguhkan dengan kebohongan lain untuk memperkuat narasi, (ii) kebohongan tidak pernah sempurna, selalu memiliki cacat.

Berbagai cara dipergunakan untuk menguatkan efek pesan dalam menyampaikan sebuah kebohongan, sekurangnya Tom mencatat, (i) membutuhkan peran kredibilitas dari penyampai pesan, (ii) memahami konteks budaya yang berlaku dalam lingkup sosial.

Hal ini terbukti sebagaimana kasus Marie Antoinette, Dr Mesmer membutuhkan pendengung sekelas istri Raja yang berkuasa saat itu. Sesuai konteks sosial, gelar ningrat dan status akademik memperkuat imajinasi tentang kebenaran yang sebenarnya half truth alias semu.

Pada akhirnya, publik membongkar sendiri kebohongan tersebut. Persis seperti kutipan Abraham Lincoln, “Anda bisa membohongi semua orang beberapa saat dan beberapa orang setiap saat, tetapi kamu tidak bisa membohongi semua orang setiap saat”.

Sejarah akan mencatat dan kebenaran akan memunculkan dirinya. Dalam ruang kebohongan, hal yang benar bisa menjadi tampak bersalah, sedangkan yang salah dan bohong bisa tampil sebagai kampiun. Kita jelas membutuhkan rasionalitas.

Kebohongan terjadi dalam berbagai aspek, termasuk diranah ekonomi dan politik. Bahkan Tom menyebut, politik adalah bidang yang lekat dengan hal-hal bohong dari waktu ke waktu. Tengok saja berbagai kasus di tanah air pada periode ketika momen kampanye.

Bentuk kebohongan beririsan dengan penipuan terjadi dalam berbagai bentuk, sebut saja penggandaan uang Dimas Kanjeng atau skema Ponzi -gali lubang tutup lubang- yang terjadi pada kasus First Travel dengan melibatkan jumlah publik sebagai korban yang massif.

Di samping itu, media memiliki peran signifikan dalam mengamplifikasi suara kebenaran atau justru terjebak dalam belitan kebohongan, akan sangat bergantung pada komitmen serta keberpihakannya. Literasi serta kemampuan nalar kritis menjadi penting dibangun.

Publik tidak bisa menghidupi dirinya dalam dunia simulasi yang penuh dengan kebohongan, sebagaimana Baudrillrad pada konsepsi bentuk ruang Simulacra terkait hiperrealitas, di mana kebohongan dapat melebihi realitas atau bahkan terpisah dari realitas itu sendiri.

Di balik paparan pesimis yang disampaikan Tom, dia juga menyebut dampak positif dari keberadaan kebohongan sebagai sisi penyeimbang kehidupan.

Kebohongan dalam bentuk misinformasi ataupun disinformasi merupakan sebuah kesalahan, dan hal tersebut mengajarkan kita untuk memperkuat kemampuan verifikasi faktual, meski membutuhkan upaya yang lebih besar pula untuk memperbaikinya.

Tantangan terkuat dalam era modern adalah transformasi media digital yang berhadapan dengan proses percepatan produksi-distribusi-konsumsi informasi. Di mana secara logis, kecepatan bersinggungan dengan lemahnya proses kurasi serta verifikasi.

Di titik tersebut tugas kita bersama menjaga kebenaran sebagai basis utama yang terpenting, dengan dipandu nilai-nilai etik serta moralitas. 

| Penulis adalah mahasiswa program doktoral ilmu komunikasi Universitas Sahid.