Hukuman Mati Bukan Solusi Kekerasan Seksual

Ilustrasi. Foto: Net.
Ilustrasi. Foto: Net.

HAKIM PT Bandung 4 April 2022 menjatuhkan hukuman mati terhadap HW, pelaku perkosaan terhadap 13 orang santri di Bandung. Putusan mati ini dijatuhkan sesuai dengan tuntutan JPU dan menganulir putusan PN Bandung yang menjatuhkan pidana penjara seumur hidup.

Hakim PT Bandung menilai bahwa hukuman mati patut untuk dijatuhkan kepada pelaku “bukan sebagai hukuman” melainkan sebagai “upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan serupa”. Tidak luput, Majelis Hakim PT Bandung juga memasukkan narasi “efek jera” di dalam pertimbangan putusannya. Hal ini, menimbulkan respon pro dan kontra dalam masyarakat Indonesia.

Hukuman Mati di Indonesia

Hukuman mati merupakan hukuman paling maksimal dan paling berat di Indonesia. Pidana ini cukup sering dijatuhkan di Indonesia. Sepanjang 2021, ICJR mencatatkan setidaknya 146 kasus hukuman mati (kasus yang dituntut dan/atau divonis mati) terhadap 171 orang (ICJR, 2022). Mayoritas kasus pidana mati di 2021 adalah kasus narkotika (120 kasus), namun ditemukan pula kasus perkosaan terhadap anak di dalam 4 kasus (ICJR, 2022).

Pada 2020, tidak ditemukan adanya penggunaan pidana mati untuk merespon kekerasan seksual terhadap anak (ICJR, 2021). Sedangkan di 2019, setidaknya pidana mati digunakan di dalam 3 kasus kekerasan seksual (ICJR, 2019).

Dalam konteks kekerasan seksual, pidana mati memang diperbolehkan untuk dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana terhadap anak sebagaimana tertuang di dalam Pasal 81 ayat (5) UU 17/2016. Ketentuan ini memperbolehan dijatuhkannya pidana mati dalam hal menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. Ini adalah satu-satunya ketentuan yang memberikan ancaman pidana terhadap perbuatan yang berkaitan dengan kekerasan seksual di Indonesia.

Hukuman Mati dan Efek Jera

Sayangnya, tidak ada penelitian yang cukup kuat untuk dapat memberikan justifikasi ilmiah tentang klaim “efek jera” hukuman mati, narasi yang hampir setiap saat digunakan hakim dalam penjatuhan hukuman mati.

Negara-negara di Asia Selatan seperti India, Bangladesh, dan Pakistan telah menerapkan pidana mati bagi pelaku perkosaan. Namun, apakah “efek jera’” terbukti dan terjadi pengurangan kasus kekerasan seksual di negara-negara tersebut? Tidak.

Geeta Pandey (2020) menuliskan bahwa setelah penjatuhan pidana mati terhadap 4 pelaku perkosaan di India pada 2012, India tidak menjadi tempat yang lebih aman bagi perempuan. Bahkan, Desember 2019, terjadi tragedy dimana seorang korban perkosaan di Unnao dibakar hidup-hidup oleh pelakunya dalam perjalanan untuk memberikan keterangan di persidangan. Korban meninggal 3 hari setelah dirinya dirawat di rumah sakit karena menderita luka bakar 90 persen.

Kamdar (2021) menyoroti bagaimana pidana mati menimbulkan kemungkinan korban enggan melapor karena kedekatannya dengan pelaku yang mayoritas adalah orang terdekatnya (Kamdar, 2021). Beban psikologis tambahan yang harus diderita korban karena secara sadar mengirimkan orang terdekatnya menuju “kematian” dapat berdampak kontra-produktif dengan upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan angka pelaporan

Lebih lanjut, Kamdar (2021) menuliskan bahwa penjatuhan pidana mati bagi pelaku perkosaan di wilayah Asia Selatan, justru melanggengkan nilai-nilai patriarkis yang memandang keperawanan sebagai sesuatu yang suci, sehingga perkosaan menjadi suatu peristiwa yang lebih buruk dari kematian. Logika tersebut digunakan kemudian untuk melegitimasi penjatuhan pidana mati terhadap perkosaan, sebuah tindak pidana yang seharusnya dilihat sebagai aksi kekerasan yang sama sekali tidak berhubungan dengan moralitas, karakter, dan perilaku seseorang (Sen, 2021).

Dua tahun pasca hukuman mati diterapkan di India untuk perkosaan, setidaknya 65 persen terdakwa yang dijatuhi putusan mati adalah terdakwa kasus kekerasan seksual (Project 39A, 2020). Namun, alih-alih menurunkan angka kekerasan seksual, yang terjadi justru sebaliknya. Lima tahun terakhir (2017-2022), angka kekerasan seksual di India justru menunjukkan kenaikan tajam (MBVV Police Commissionerate, 2022).

Di Indonesia, sebelum kasus HW, hukuman mati juga pernah dijatuhkan di dalam kasus perkosaan yang menimpa anak pada 2016. Hakim PN Curup menjatuhkan pidana mati pada Z atas perbuatannya memerkosa dan membunuh anak korban yang pada saat perbuatan tersebut dilakukan berusia 13 tahun. Peristiwa itu juga menjadi momentum dinaikkannya narasi “Darurat Kekerasan Seksual” yang kemudian mendorong Pemerintah mengeluarkan Perppu Kebiri.

Mirisnya, keluarga korban pun tidak sepenuhnya mendapatkan keadilan atas putusan pidana mati tersebut. Dalam tulisannya, Cahya dan Pierson (2021) menggambarkan bagaimana 5 tahun pasca peristiwa dan penjatuhan putusan, keluarga korban justru harus berpindah tempat tinggal karena keluarga pelaku mengancam dan menyalahkan korban karena menghancurkan kehidupan anak-anaknya.

Penjatuhan mati itu ternyata tidak menurunkan jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia. Menengok Catahu Komnas Perempuan, angka kekerasan seksual sejak 2016 tidak mengalami penurunan, justru sebaliknya mengalami peningkatan.

Hukuman Mati Bukan Solusi

Hukuman mati, yang merupakan bentuk hukuman draconian yang “populis”, jelas bukan solusi bagi masalah kekerasan seksual di Indonesia. Saya sangat sepakat bahwa kita harus mengutuk pelaku perkosaan, tapi apakah hukuman mati adalah solusi?

Narasi yang diciptakan melalui penjatuhan hukuman mati seakan-akan memberikan gambaran bahwa negara “hadir” bagi warganya, khususnya perempuan dan anak yang selama ini paling jamak menjadi korban kekerasan seksual. Padahal, tulisan-tulisan pemikir feminis, salah satunya Pope (2022) justru mengkritisi hukuman mati, yang dipandangnya sebagai penyelesaian masalah yang sangat tradisional dengan menggunakan kacamata laki-laki.

Cook juga menyampaikan betapa sebenarnya hukuman mati adalah antitesis dari perjuangan yang selama ini dilakukan oleh gerakan feminis, dimana hukuman mati justru memproduksi kebrutalan daripada menyelesaikannya. Tidak hanya itu, Ruth Bader Ginsburg pada 1977 juga berargumen bahwa kepercayaan kepada penjatuhan pidana mati di dalam kasus perkosaan berakar dari pandangan bahwa perkosaan adalah kejahatan terhadap bapak atau suami korban, yang memiliki hubungan ”kepemilikan” terhadap keperawanan korban.

Hukuman mati dan bias gender adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, mengakar pada ide hukuman yang “ksatria” atau chivalric (Shatz, 2011). Shatz dalam studinya terhadap putusan hukuman mati di California, menyimpulkan bahwa hukuman mati yang diterapkan sangat erat kaitannya dengan ide bahwa perempuan adalah seseorang yang lemah dan perlu “diselamatkan oleh laki-laki”. Sehingga kemudian, laki-laki lah yang berhak menentukan penghukuman: siapa yang hidup dan siapa yang mati.

Data-data ini, cukup membuktikan bahwa hukuman mati adalah narasi maskulin yang sebenarnya tidak pernah berbicara tentang kepedulian terhadap korban, atau setidaknya tidak dalam jangka panjang. Setelah kasus ini meredam, negara mungkin akan kembali absen, seperti yang sudah-sudah terjadi.

Mencari Solusi

Untuk mencari solusi masalah kekerasan seksual, kita tidak seharusnya memulai dari diskursus penghukuman. Negara harus memastikan dirinya tidak hanya hadir di waktu-waktu tertentu dan bertindak seperti layaknya ksatria.

Sebagai jalan masuk, konsep penghormatan terhadap integritas tubuh perempuan harus menjadi pondasi.  Melihat akar masalah kekerasan seksual yang sebenarnya adalah ketimpangan relasi kuasa, maka harus diajarkan secara terbuka melalui informasi publik mengenai pentingnya persetujuan atau consent dalam kekerasan seksual ke pada setiap lapisan masyarakat.

Berbicara tentang sistem perlindungan, bisa dimulai dari perbaikan sistem pemulihan korban yang saat ini masih terbatas dan tidak terkoneksi, mengakibatkan sulitnya akses korban pada pemulihan. Proses peradilan yang berbelit-belit dan juga traumatis, harus diperbaiki. Dimulai dari pengefektifan pedoman-pedoman memeriksa maupun mengadili perkara perempuan yang sudah ada di lingkungan Kejaksaan dan Mahkamah Agung, dilanjutkan dengan pengaplikasian UU TPKS, yang kemudian harus disusul pula dengan perbaikan di dalam RKUHAP kita.

Selain akses, harus juga diperhatikan proporsi pendanaan yang diberikan kepada korban kekerasan seksual. Berdasarkan penelitian PPH Atma Jaya (2020), alokasi program penanganan kekerasan terhadap perempuan oleh Pemda berada di angka Rp86.000 - Rp223.000 per korban per tahun untuk pemberian layanan hukum, kesehatan, dan juga sosial. Sedangkan, untuk penghukuman pelaku, estimasi biaya eksekusi mati pada 2016 saja adalah Rp200.000.000 per orang (ICJR, 2016).

Negara juga harus hadir untuk memastikan korban merasa aman seutuhnya dengan mencabut pasal-pasal pidana karet yang sering menyerang korban kekerasan seksual. Coba lihat bagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE, yang menjadi momok bagi korban kekerasan seksual, masih tetap dipertahankan dalam draft revisi UU ITE. Pun begitu dengan ancaman besar pasal karet pidana-pidana penghinaan yang sering menyasar korban yang berani bicara.

Pada akhirnya, seluruh upaya ini, harus dilakukan secara paralel, dan tidak dilakukan hanya di waktu-waktu “spesial” ketika kasus yang menyita atensi publik naik ke permukaan. Setiap warga negara yang menjadi korban, patut diberikan perhatian oleh Negara, melalui cara-cara yang lebih dari sekedar penghukuman. Kekerasan seksual adalah isu yang kompleks dan rumit, jangan sampai kita semua terjebak pada kemarahan sesaat dan justru lalai membuka tangan kita untuk korban-korban di luar sana. 

| Penulis adalah Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).