Hybrid Warfare, Siapkah Kita Menghadapinya

Ilustrasi: Islamabad Scene.
Ilustrasi: Islamabad Scene.

ISTILAH hybrid warfare atau perang hibrida masih cukup asing dan awam di telinga kita. Namun pada kenyataannya, perang hibrida sangat dekat dengan kehidupan kita. Sejauh ini kata hibrida yang kita ketahui adalah sesuatu hal yang berkaitan dengan masalah pertanian, dimana beberapa varietas unggul tanaman menggunakan nama ini, seperti jagung hibrida, kelapa hibrida, dan sebagainya.

Namun ternyata istilah hibrida ini juga berlaku di dalam dunia peperangan. Hal tersebut seperti yang pernah disampaikan oleh Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono, S.E. pada amanat beliau saat Upacara hari Senin, 18 Februari 2013 di kampus Seskoau, bahwa pemerintah saat ini sedang bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan TNI untuk menyiapkan kemungkinan berkembangnya perang hibrida dan masalah terorisme dalam negeri.

Definisi dari hybrid warfare atau perang hibrida adalah teori strategi militer yang pertama kali diusulkan oleh Frank Hoffman seorang Anggota Dewan Penasihat di Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat. Konsep hybrid warfare memadukan perang politik, perang konvensional, perang tidak teratur serta perang dunia maya (cyber warfare) baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, serta perang informasi.

Perang hibrida dapat digunakan untuk menggambarkan dinamika ruang pertempuran yang fleksibel dan kompleks yang membutuhkan respons yang sangat mudah beradaptasi dan tangguh. Oleh karena itu, menghadapi kemungkinan ancaman perang hibrida, TNI harus segera beradaptasi dengan situasi yang berkembang agar dapat mengantisipasi serta mengatasinya secara lebih cepat dan tepat.

Definisi lain hybrid warfare atau perang hibrida adalah perang yang menggunakan kombinasi metode militer dan nonmiliter di masa damai untuk mencapai tujuan militer tradisional (misalnya, kontrol atau penaklukan teritorial) sehingga mampu mengubah “fakta di lapangan” tanpa memicu konflik yang sebenarnya.

Dalam karya penulis Michael Mazarr (seorang ilmuwan politik dan mantan pembantu dekan di National War College) dengan bukunya yang berjudul Mastering the Gray Zone: Understanding a Changing Era of Conflict, mengungkapkan bahwa perang hibrida pada masa damai adalah untuk mencapai tujuan militer, yakni kontrol medan perang. Dia menegaskan bahwa tujuan perang hibrida adalah memenangkan kampanye konklusif melalui penggunaan kekuatan dan beberapa tingkat kekerasan, atau mempersiapkan semacam aksi militer yang menentukan.

Cyber Warfare sebagai Bagian dari Hybrid Warfare

Salah satu strategi perang dalam hybrid warfare adalah menggunakan konsep perang siber atau cyber warfare dimana perang ini menggunakan teknologi informasi berbasis komputer dan internet. Definisi secara khusus tentang cyber warfare adalah perang yang memanfaatkan jaringan komputer dan internet atau (cyber space) berbentuk strategi pertahanan atau penyerangan sistem informasi lawan.

Cyber warfare mengacu pada penggunaan fasilitas world wide web (www) dan jaringan komputer untuk melakukan perang di dunia maya. Teknologi komputer dan internet telah dimanfaatkan oleh para pelaku perang dalam upayanya untuk bersaing, menguasai, mengganggu dan menghentikan komunikasi atau bahkan merubah arus dan isi informasi serta berbagai tindakan lain yang berakibat merugikan dan menghancurkan lawan.

Beberapa negara besar telah mempersiapkan kekuatan sibernya untuk menghadapi cyber warfare ini, diantaranya adalah Amerika Serikat, Rusia, China dan India. Setiap negara tersebut memiliki pasukan khusus yang berkemampuan siber dan dibekali pula dengan peralatan siber yang mumpuni dan canggih.

Fakta-fakta Seputar Hybrid Warfare

Terdapat beberapa peristiwa perang hibrida yang terjadi di berbagai belahan dunia. Contohnya adalah Operasi Perang Informasi yang terjadi di Eropa. Berdasarkan analisis pada tahun 2014 yang diterbitkan oleh Akademi Pertahanan Nasional Latvia, operasi perang hibrida klasik ditunjukkan dalam kampanye Krimea pada tahun 2014, dimana saat itu pasukan Rusia berhasil menggunakan perang psikologis, operasi penyesatan, komunikasi internal, intimidasi, penyuapan, dan propaganda Internet/media untuk melemahkan perlawanan, sehingga penggunaan kekuatan senjata terhindari.

Contoh lain dari perang hibrida adalah saat Tiongkok mencapai akuisisi teritorial melalui metode nonmiliter dan paramiliter, Tiongkok mengikuti contoh Rusia di Ukraina dengan menerapkan “kampanye informasi” pendukung terkoordinasi yang direncanakan di tingkat strategis dan disebarkan secara global. Kampanye informasi ini sesuai dengan doktrin “Tiga Perang” PLA (Tentara Pembebasan Rakyat China) dengan tindakan, kegiatan dan penyampaian pesan untuk mendukung perang psikologis, media dan hukum.

Berdasarkan Security Bulletin (salah satu aplikasi informasi digital) edisi tahun 2007, PLA (Tentara Pembebasan Rakyat China) telah mendirikan Unit Perang Informasi pertamanya pada tahun 2003.

Unit ini ditugaskan untuk mengembangkan virus guna menyerang sistem dan jaringan komputer musuh serta taktik dan langkah-langkah untuk melindungi sistem dan jaringan pasukan sendiri. Fakta ini diperkuat dengan artikel pada majalah The Diplomat yang mengutip dari The Science of Military Strategy edisi 2013 dan diterbitkan oleh Akademi Sains Militer China yang mengakui adanya Unit Khusus untuk perang dunia maya.

Sementara itu, pada 1 Oktober 2010, Angkatan Darat Amerika Serikat secara resmi mendirikan Komando Siber Amerika Serikat (US Cyber Command). Organisasi ini berada di bawah United States Strategic Command (US STRATCOM). Tujuan didirikannya Komando Siber Angkatan Darat Amerika Serikat ini adalah untuk merencanakan dan melaksanakan peperangan elektronik, informasi, dan operasi ruang maya yang terintegrasi sesuai dengan wilayah tugasnya (cyber space).

Lembaga ini juga didirikan dalam rangka pertahanan dan keamanan di ruang maya dan lingkungan informasi, serta untuk mengantisipasi ancaman dari ruang siber dari negara lain.

Di sisi lain, berdasarkan informasi dari media dan pemerintahnya. Rusia telah memiliki Satuan Khusus Siber. Operasi Siber mereka awalnya difokuskan pada Distributed Denial of Service (DDoS) dan sering mengandalkan kooptasi atau perekrutan peretas kriminal dan masyarakat sipil.

Pada tahun 2007, serangan siber skala besar terjadi di Estonia dan sebagian besar pengamat menyalahkan Rusia. Mulai dari perbankan online, outlet media, layanan email, hingga situs web pemerintah Estonia menjadi target serangan siber.

Selanjutnya, Rusia kembali menggunakan serangan DDoS selama perang pada Agustu 2008 dengan Georgia. Teridentifikasi sebanyak 54 target potensial (pemerintahan, keuangan dan media) termasuk Bank Nasional Georgia yang menghentikan semua aktifitas elektronik selama 12 hari. Meskipun Rusia menyangkal tanggung jawab, Georgia tetap menjadi korban serangan siber skala besar yang berhubungan dengan militer Rusia.

Beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa negara-negara lain di dunia telah mempersiapkan kemungkinan terjadinya perang hibrida bahkan ada beberapa negara yang telah memulai terjadinya perang yang melibatkan teknologi informasi sebagai bagian dari strategi hybrid warfare. Dengan kata lain, hybrid warfare saat ini merupakan kemampuan baru pertahanan negara yang harus diwaspadai dan diantisipasi.

Ancaman Hybrid Warfare di Indonesia

Sejalan dengan meningkatnya perkembangan teknologi dan informasi saat ini dengan sangat pesat, maka ancaman terhadap kedaulatan negara melalui saluran teknologi pun juga berkembang secara signifikan. Dimana hal tersebut perlu menjadi perhatian khusus bagi strategi pertahanan RI. Ancaman melalui saluran teknologi merupakan bagian dari operasi hybrid warfare yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia, terutama negara-negara yang memiliki kekuatan teknologi informasi yang besar.

Data BSSN menyebutkan pada tahun 2019 telah dilaporkan adanya 290 juta kasus serangan siber di Indonesia. Jika dibandingkan tahun sebelumnya ketika kejahatan siber menyebabkan kerugian sebesar US$ 34,2 miliar di Indonesia, jumlah tersebut 25% lebih banyak.

Salah satu perusahaan keamanan siber yang bernama Kaspersky, telah membeberkan data ancaman siber di Indonesia pada kuartal I tahun 2021 yaitu berjumlah lebih dari 9 juta ancaman siber yang ditargetkan terhadap pengguna internet di Indonesia. Selanjutnya, disebutkan sebanyak 25,7% pengguna komputer di Indonesia hampir terkena serangan berbasis web dan lebih dari sepertiganya menjadi target ancaman lokal. Data lain menunjukkan bahwa pada periode Januari-Maret 2021, pihak Kaspersky mendeteksi dan memblokir sebanyak 9.639.740 ancaman siber berbeda yang ditularkan melalui internet pada komputer pengguna.

TNI AD merupakan salah satu komponen pertahanan di Indonesia yang tidak terlepas dari ancaman/serangan siber oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, entah dari warga negara Indonesia sendiri atau bahkan dari pihak negara lain.

Beberapa kejadian peretasan berupa web defacement yang menyerang situ-situs resmi TNI AD adalah sebagai berikut:

1. Situs resmi Seskoad pada tanggal 24 Juli 2020.

2. Illegal scanning dan DDoS attack yang menyerang Disinfolahtad pada tanggal 24 Juli 2020.

3. Situs resmi Kodam VI/Mulawarman pada tanggal 6 September 2020.

4. Situs resmi Ditbekangad pada tanggal 6 September 2020.

5. Situs resmi Disjarah pada tanggal 14 September 2020.

6. Situs resmi Puskesad pada tanggal 17 September 2020.

7. Situs resmi Kodiklatad pada tanggal 3 Novem- ber 2020.

8. Situs resmi Disjasad pada tanggal 13 Agustus 2020.

Fakta-fakta tersebut cukup membuktikan bahwa pertahanan Indonesia masih sangat rentan terhadap serangan siber. Hal ini dapat melemahkan kekuatan Indonesia apabila sewaktu-waktu terjadi hybrid warfare dimana cyber warfare merupakan salah satu komponennya.

Persiapan TNI AD Menghadapi Hybrid Warfare

Keberhasilan suatu peperangan sangat ditentukan oleh perencanaan dan persiapan yang matang oleh pelakunya. Dalam ilmu taktik tempur, persiapan sangat penting dan krusial dalam sebuah pertempuran. Sejalan dengan hal tersebut TNI dan Polri perlu mempersiapkan diri dalam menghadapi hybrid warfare ini.

Persiapan untuk menghadapi berbagai tantangan perang hibrida ini adalah dengan meningkatkan jumlah dan kemampuan sumber daya manusia, khususnya dalam penguasaan teknologi Alutsista, komunikasi dan teknologi informasi, serta kemampuan intelijen termasuk teritorial. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh TNI AD adalah dengan optimalisasi peran aparat teritorial di seluruh wilayah RI.

Aparat teritorial yang melekat di masyarakat merupakan ujung tombak informasi yang menjadi garda terdepan untuk mengantisipasi serangan propaganda dan kampanye konklusif. TNI AD telah membentuk Pusat Sandi dan Siber dimana satuan tersebut diharapkan mampu menjawab tantangan perang masa depan yang berbasis teknologi informasi.

Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa telah memberikan dukungan penuh kepada Pussansiad (Pusat Sandi dan Siber Angkatan Darat) dengan membangun fasilitas CSOC (Cyber Security Operation Center). Fasilitas tersebut nantinya akan dilengkapi dengan peralatan-peralatan penunjang kegiatan operasi siber baik dalam rangka serangan, pertahanan, pemulihan, deteksi, dsb.

Di samping itu, TNI AD juga membekali para prajuritnya dari level bintara hingga perwira dengan kemampuan teknologi informasi termasuk di dalamnya kemampuan siber. Sehingga diharapkan di masa yang akan datang, TNI AD siap dalam menghadapi perang informasi sebagai bagian dari hybrid warfare.

Berbanding lurus dengan upaya yang telah dilakukan TNI AD, Mabes TNI juga telah membentuk Satuan Siber TNI yang bertugas menyelenggarakan kegiatan dan operasi siber di lingkungan TNI dalam rangka mendukung tugas pokok TNI. Satsiber TNI akan mengintegrasikan operasi siber dari 3 angkatan (AD, AL dan AU) dimana setiap angkatan memiliki kemampuan dan informasi yang berbeda.

Dengan persiapan dan upaya maksimal tersebut, diharapkan TNI akan mampu menjawab tantangan hybrid warfare seperti negara-negara lain di dunia. Kedepannya, TNI mampu mengantisipasi adanya potensi serangan yang mungkin timbul dari akibat perang hibrida tersebut. 

| Penulis adalah Waasintel Kasad Bid. Inteltek dan Hublu. Artikel ini dimuat pertama kali di Majalah Profesional Intelpam Denipeni, Edisi ke-59 September 2021.