Idul Fitri dan Pandemi: Statistik Musibah, Ideologi, dan Penyucian Diri (I)

Ilustrasi: popmama.
Ilustrasi: popmama.

TAK terasa Covid-19 telah menjajal manusia dan kemanusiaan selama  setahun lebih. Dua puasa dan dua lebaran ummat islam di seluruh dunia telah mengalami pengalaman berpuasa dan berlebaran yang sangat berbeda dari puasa dan  hari raya dari tahun-tahun sebelumnya. Kalaulah ada sesuatu yang terus menerus membayangi tentang masa depan adalah  ketidakjelasan kapan dan bagaimana Covid-19  akan berakhir.

Covid-19 telah merenggut hidup dan kehidupan yang tiada tara dengan angka sementara yang terus menerus bertambah. Dengan beberapa pengecualian, hampir tidak ada permukaan bumi yang didiami manusia  yang bersentuhan dengan konektivitas yang tidak mengalami penularan pandemi pembunuh ini. 

Hari Ini, kata benda yang terus-menerus disebut, ditulis, dihapal, dan dibicarakan oleh manusia di seluruh dunia adalah Covid-19. Hal ini cukup wajar, karena musibah pandemi ini dalam tempo setahun lebih telah menulari  tidak kurang dari 162.524.426 juta manusia, dengan jumlah kematian 3.371.034 jiwa (WorldoMeter 15 Mei, 2021, 01:41 GMT). Pada waktu yang sama Indonesia menduduki ranking ke 18 dengan  1.731.652 penularan, dengan jumlah kematian 47.716 jiwa.

Angka kematian total Indonesia per satu juta penduduk juga berada pada angka 175 orang, jauh dari negara dengan angka tertinggi di negara Hongaria 2.197 per satu juta penduduk, namun tertinggi dibandingkan dari seluruh negara-negara anggota ASEAN.  Disamping menempati peringkat satu untuk negara-negara ASEAN dalam hal kasus aktif, untuk peringkat  5 besar ASIA, Indonesia pada posisi ke 5 setelah India, Iran dan Turki, membawahi Bangladesh.

Posisi itu bisa saja ke depan semakin bertambah baik, atau sebaliknya, karena misteri biologis Covid-19 sampai hari ini masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai, baik bagi ilmuwan, maupun pembuat kebijakan di seluruh dunia. Kalaulah ada sesuatu yang menyertai kekahwatiran  saat ini adalah angka kematian anak karena Covid-19 adalah tertinggi di Asia Tenggara, yakni sebesar 1,7 persen. Angka ini sangat parah dibandingkan dengan AS dan Cina yang hanya kurang dari 0,1 persen. Dan, yang paling menyedihkan, penyebab utama kematian anak-anak-komorbid, adalah kekurangan gizi, diare, pnemonia, dan demam berdarah.

Indonesia belum sepenuhnya aman dari ancaman pandemi ini. Kantor Presiden melalui Menko EKUIN Erlangga Hartarto menyebutkan sampai dengan 9 Mei sekalipun 2 indikator utama masih dibawah angka global, namun tingkat kematian Indonesia sudah memasuki taraf yang berbahaya. Kasus aktif nasional mencapai 5,7 persen dibandingkan dengan global 12.13 persen, kesembuhan 91,5 persen, global 85,78 persen. Namun ketika indikatornya adalah tingkat kematian, Indonesia mempunyai angka 2,7 persen, dimana  tingkat kematian global yakni 2,8 persen.

Pandemi di Aceh yang telah menulari 112.157 orang, sembuh  10.268 orang dengan jumlah kematian per 14 Mei 2021 sebanyak 490  orang (Kompas.com 14 Mei 2021) tentu saja tidak boleh dianggap enteng. Pemantauan pemerintah pusat Aceh dalam dua minggu terakhir menyatakan sebagai propinsi tertinggi penularan secara nasional, bersama-sama dengan propinsi Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Hal ini cukup beralasan, karena seminggu sebelumnya-7 Mai 2021 tejadi peningkatan jumlah pasien baru  sebanyak 180 persen (Kompas TV, 7 Mei 2021).

Belum cukup dengan pukulan kenaikan jumlah korban kematian yang berhubung dengan  istilah “hidup”, Covid-19 juga mengganggu “kehidupan” yang membuat kekacauan ekonomi dan kemelaratan yang menyengsarakan masyarakat. Tanpa harus merujuk implikasi ekonomi global yang cukup parah, dan dampak ekonomi nasional yang diakibatkan oleh pandemi  juga cukup terpuruk, dapatlah disimpulkan betapa masa depan kemanusiaan kini berada dalam sebuah situasi yang sangat mengkhawatirkan.

Aceh sebagai propinsi dengan jumlah angkatan kerja per Februari 2021 sebanyák 2.5 juta jiwa juga menerima dampak Covid yang cukup berarti. BPS Aceh (2021) melaporkan tidak kurang dari 169.000 pekerja yang pekerjaannya terganggu, rusak, atau terhalangi akibat pandemi Covid-19, bertambah 22,000 orang diibandingkan dari bulan Agustus 2020. Tidak kurang dari 154.000 orang mengalami pengurangan jam kerja, 4.700 orang tidak berkerja,  bukan angkatan kerja karena Covid-19 2.900 orang dan menganggur  6.800 orang.

Dalam suasana Idul Fitri dan statistik musibah akibat pandemi yang terus mendera dan tak kunjung berakhir, renungan apa yang dapat kita lakukan untuk melihat diri, menempatkan diri, melihat dan menempatkan komunitas daerah, dan bahkan komunitas bangsa Indonesia? 

Terus terang saja kalau kita melihat dalam konteks ideologi dan peradaban, kejadian pandemi kali ini telah  menempatkan Cina, negara yang mempunyai ideologi komunis, sebagai juara dalam menangani pandemi, bahkan mengalahkan kedigdayaan peradaban barat-kalau boleh kita sebutkan. 

Lihatlah, praktis semua negara Eropa, bahkan Rusia yang “lain” sekalipun, plus AS, dan negara-negara Amerika latin menjadi contoh korban pandemi yang paling parah. Lihatlah tiga negara  besar islam terbesar di dunia Turki, Indonesia, dan Iran, dalam pembahasan dan evaluasi pandemi global, tetap saja menjadi contoh yang tidak bisa dijadikan referensi, bahkan dianggap buruk.

Apakah itu berarti komunis Cina yang juara penanganan pandemi itu telah menjadi  alternatif baru bagi dunia-apalagi dengan kemajuan ekonomi dan tehnologi yang berlipat ganda dalam 40 tahun terakhir? Dan, apakah itu berarti nilai-nilai komunis itu sendiri yang menjadi basis dari keberhasilan Cina dalam menangani pandemi ?

Ada banyak jawaban tentang Cina yang memperlihatkan bagaimana nilai-nilai asli Cina yang telah berumur ribuan tahun menjadi resep penting yang membuat keberhasilannya, namun tertutup dalam jubah besar komunisme yang diperagakan oleh otoritas semenjak Mao Tse Tung bekuasa. Tak terhitung jumlah pengamat dan menulis yang menempatkan bagaimana nilai-nilai Confucius yang diadopsi dan tetap dipegang teguh oleh penguasa Cina, namun  dinampakkan dengan sangat piawai dalam wajah sosialis komunis Cina ( Rachman 2016;Jacques 2011; Chen 2019; Bell 2016; Fan 2011)

| Penulis adalah sosiolog dan guru besar fakultas pertanian Universitas Syiah Kuala.