Idul Fitri dan Pandemi: Statistik Musibah, Ideologi, dan Penyucian Diri (II)

Ilustrasi: popmama.
Ilustrasi: popmama.

MENGAMBIL bacaaan terakhir tentang keberhasilan menggabungkan  dua kekuatan “liar” yang mengobrak abrik dunia, semenjak abad ke 18, dan mencapai puncaknya pada abad ke 20. Kekuatan liar itu  adalah “kapitalisme” dan "negara otoriter” yang kemudian dijinakkan dengan nilai-nilai Confucius yang mengedepankan kehidupan kolektif, pentingnya keluarga, harmoni, kesenangan,dan prinsip  simbiosis kehidupan  

Oleh penguasa Cina, pasca evolusi komunis nilai-nilai itu kemudian ditransformasikan menjadi kepentingan individu yang dikolektifkan, dan menjadi kepentingan nasional kolektif. Nilai-nilai itu kemudian menjadi etika kolektif yang sangat berperan dalam menghadapi masa-masa kritis bangsa, dan kebangsaan Cina, seperti pandemi Covid-19 itu. Cetak biru komunisme yang ditulis  oleh Karl Marx dan Lenin yang menjadi pegangan Mao pada awal Revolusi Cina, secara berangsur dikunyah dan dijinakkan dengan nilai-nilai Cina yang sudah berumur lebih dari 5.000 tahun. Komunisme, dalam banyak hal kemudian tidak lebih digunakan sebagi instrumen “persatuan” dan “kesatuan” Cina. 

Hal itulah yang kemudian menjadi jawaban, kenapa negara-negara barat -mungkin karena pemimpinnya yang salah baca, atau karena memang penekanan yang meletakkan individu dan individualisme sebagai “prima causa’ kemajuan peradaban. Uniknya barat yang pada awalnya menjadi  pelopor revolusi ilmu pengetahuan dan tehnologi, rasionalitas, dan penggerak globalisasi menjadi korban, dan bahkan bukan tidak mungkin akan kalah dalam mempertahankan supremasi global. Titik mulanya sudah mulai terlihat dalam perang pandemi ini.

Dengan melihat kepada fenomena dunia saat ini, kita bertanya apakah negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim dan bahkan sebagiannya mempunyai nilai-nilai agama yang kuat, namun tak berhasil mengendalikan pandemi yang dasyhat itu. Apakah nilai-nilai islam yang tidak ada, ataukah para pemimpinnya yang gagal mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman dalam menghadapi musibah terbesar dalam sejarah dua abad terakhir ini?

Sekalipun pentingya nilai-nilai kolektif paraktis menjadi nilai-nilai universal  dengan kadar yang berbeda pada berbagai agama, ideologi, dan peradaban, titik tolak kolektivitas itu dapat saja berbeda asal muasalnya. Di dalam islam, titik solak kolektivitas itu ditempatkan pada posisi utama dengan memberikan tempat yang paling tinggi terhadap kata “hidup” terhadap makhluk Allah tertinggi di bumi, yakni “manusia”. 

Tidak ada satupun perintah Alquran yang mengenyampingkan kepentingan umum, apalagi mendahulukan kepentingan individu, dalam kehidupan bermasyarakat. Perintah keras  untuk menyelamatkan jiwa-hifdz al-nafs-disebutkan dengan tegas dalam kitab suci, “Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu dalam Bahaya” (QS-Al Baqarah [2]:195). Maslahah, atau kepentingan umum kemudian menjadi jantung dari pelaksanaan syariat islam yang hakiki.

Contoh aktual tentang ajaran Islam awal dan pandemi yang mengutamakan kepentingan umum terdapat dalam dua hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dan hadis riwayat Abu Hurairah. Kedua hadis itu mencerminkan apa yang hari ini disebut dengan lockdown, karantina, dan social distancing. Anjuran pengutamaan  kepentingan kolektif adalah lockdown dan karantina tercermin dalam hadis riwayat Bukhari Muslim berbunyi “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, janganlah kamu memasukinya. Tetapi jika wabah itu terjadi di tempat kamu berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” Anjuran social distancing terlihat dalam hadis riwayat Abu Hurairah “jauhilah orang yang lepra, seperti kamu menjauhi singa.” 

Penghormatan kepada jiwa -hifdz al-nafs- dan penekanan kepada kemaslahatan kolektif, terutama dalam situasi darurat seperti pandemi yang dianjurkan oleh agama kini menjadi pertanyaan besar kita, apalagai dalam suasana  Idul Fitri dan statistik musibah internasional, nasional, dan lokal terus saja menaik.  Apakah kita berada di jalan yang benar seperti perintah agama?

Apakah individu, keluarga, dan komunitas pada berbagai tingkatan administratif telah memegang nilai-nilai yang dianjurkan kitab suci AlQur’an dan hadis rasul? Dan yang paling penting lagi pertanyaan yang sangat layak kita ajukan kepada pemegang kebijakan publik, sudahkah mereka menjalankan pengutamaan penyelamatan hidup jiwa-hifdz alnafs- dan kemaslahatan kolektif telah dijalankan dengan benar dan optimal? 

Sudahkah pemegang otoritas menunjukkan keseriusan yang sungguh-sungguh untuk penyelamatan kolektif kehidupan publik yang semakin tak menentu? Memang benar, tingkat pengetahuan publik dan kesadaran publik tentang pandemi butuh energi berlebih agar terbangun kesadaran kolektif dari  semua pihak, terutama dari pemegang amanah kekuasaan.

Adakah sebuah contoh nyata yang benar-benar dapat dijadikan bukti keseriusaan tentang penguatan kesadaran kolektif telah dilakukan oleh otoritas di daerah ini. Apakah benar semua elemen potensial telah diyakinkan dan diajak untuk melakukan tugas suci penyadaran kolektif tentang betapa krusialnya tantangan pandemi yang sedang dan akan terjadi di hari-hari yang akan datang? 

Kalau saja penyadaran kolektif belum dapat dilakukan, itu adalah pertanda bahwa belum terjadi “kesepakatan kolektif” tentang definisi masalah dan langkah-langkah penting yang mesti dilakukan untuk menangani bencana ini. Jika adagium ini benar, maka ada dua kemungkinan yang mesti dicatat. 

Pertama. otoritas daerah tidak mampu menggalang kesepakatan kolektif antara berbegai elemen kunci masyarakat, sehingga sukar membayangkan akan terbangun solidaritas yang kuat untuk menghadapi pandemi ini. Kemungkinan kedua adalah bahwa otoritas daerah tidak mau atau setengah hati dalam membangun kesepakatan kolektif berbagai elemen masyarakat.

Sukar membayangkan kerja kolektif akan terbangun tanpa adanya kesadaran kolektif. Dan kesadaran kolektif tidak akan pernah terjadu tanpa kesadaran kolektif yang dibanguny secara sistematis. Ini adalah cerminan dari tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap keselamatan  diri individu, anggota keluarga, komunitas, dan masyarakat secara luas, tidak akan pernah terjadi tanpa ada sebuah contoh yang solid dari tanggung jawab pemegang amanah kebijakan dan kehidupan publik.

Dalam sussana lebaran yang terus disesaki dengan statistik musibah di daerah yang tak pernah henti, walaupun terlambat, tidak salah kita menangis. Kita memohon keampunan Khalik, agar kita ditunjukkan jalan yang benar untuk dapat mengatasi krisis kemanusiaan terbesar awal abad ke 21. 

Penyucian diri dalam suasana Idul Fitri mestilah ditujukan kepada pengutamaan keselamatan keberlanjutan kehidupan kolektif yang ditandai dengan ikatan solidaritas yang kuat, dengan memberi nilai tertinggi kepada penyelamatan hidup-hifdz al-nafs-. Tidak terlambat untuk pemegang amanah kebijakan publik untuk melakukan penyucian jiwa dan semangat dengan mengenyampingkan sejenak berbagai kepentingan lain.

| Penulis adalah sosiolog dan guru besar fakultas pertanian Universitas Syiah Kuala.