Ilham Bintang: Seruan Kapolri Soal Liputan Hanya untuk Kalangan Tertentu

Ilham Bintang. Foto: net.
Ilham Bintang. Foto: net.

Penerbitan Surat Telegram Kapolri yang  mengatur soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik menuai polemik di masyarakat. Salah satunya adalah Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Ilham Bintang.


Telegram bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 5 April 2021. Telegram berisi 11 poin itu ditujukan kepada pengemban fungsi humas Polri di seluruh kewilayahan.

Poin yang kontroversial adalah adanya larangan bagi media menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Media diimbau menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas, tapi humanis.

Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Ilham Bintang berkeyakinan bahwa telegram itu bukan ditujukan kepada media pers. Melainkan kepada media-media Polri yang selama ini bekerja sama dengan stasiun TV, seperti program 86, Buser dan sebagainya.

“Jadi, menurut saya bukan untuk media pers. Kalau pun dimaksudkan untuk media pers, saya harus mengatakan itu salah alamat,” kata Ilham seperti dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL,  Selasa, 6 April 2021.

Ilham Bintang mengurai bahwa keberadaan pers di tanah air dipayungi UU 40/1999 tentang Pers yang merupakan bagian dari produk reformasi. Sementara derajat telegram Kapolri di hirarki hukum Indonesia berada jauh di bawah UU Pers.

Sehingga mustahil peraturan yang berada di bawah, seperti telegram Kapolri bisa mengalahkan  UU yang berada di atasnya.

“Tapi tidak ada salahnya wartawan atau sekalian organisasi media pers mengklarifikasi Telegram itu kepada pihak polisi. Supaya lebih terang, dan  tidak disalahtafsirkan nanti oleh petugas polisi di lapangan yang berpotensi menimbulkan kegaduhan baru,” tegasnya.

Ilham Bintang mengingatkan bahwa UU Pers tidak memiliki PP dan Permen yang bisa ditasirkan oleh eksekutif. Beda dengan UU Pers sebelumnya, yaitu UU Pokok Pers, yang tafsirnya sekehendak penguasa.

“Desain UU Pers memang ditujukan agar pers mengatur dirinya sendiri. Pengaturannya ditangani oleh Dewan Pers,” tegasnya.

Sementara menanggapi butir Telegram yang menyebut larangan menyiarkan tindakan polisi yang arogan, Ilham menegaskan bahwa bagi pers tindakan itu penting diberitakan sebagai koreksi kepada polisi.

“Yang benar, Kapolri harus melarang polisi bersikap arogan dalam melaksanakan tugas. Sudah pasti tidak ada video yang merekam peristiwa itu untuk disiarkan,” kata Ilham.