Iman

IRAWAN SANTOSO SHIDDIQ
IRAWAN SANTOSO SHIDDIQ

INI masalah penting bagi muslimin. Tauhid. Hal yang kini seolah disepelekan. Dan bukan dianggap prioritas ilmu. Padahal ini pembeda, antara mukmin dan kafirun. Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam bersabda, “Iman akan kembali ke Madinah seperti ular kembali ke sarangnya” (HR Muslim). Iman itulah aqidah. Dalam Hadist lain, Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam bersabda, “Jagalah tiga pilar dalam Islam maka Dinul Islam akan terjaga.” Tiga pilar Dinul Islam itulah: Iman-Islam-ikhsan. Iman itulah aqidah. Islam itulah syariat. Ikhsan itulah akhlak.

Perihal aqidah, muslimin dilanda beragam ujian. Mulai kemunculan Syiah, Khawarij, hingga mu’tazilah. Ini di masa lampau. Karena kini menghadapi ujian yang hampir serupa. Dari situlah disusun kategori ‘ahlul sunnah wal jamaah’. Batasan dan garis agar muslimin terjaga pada garis Sunnah Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam.

Masa mu’tazilah, aqidah begitu rapat dijaga kaum ulama. Karena mu’tazilah inilah yang sempat menggemparkan kaum muslimin. Karena sempat berada pada jalur pikiran para Khalifah Abbasiyyah dan Andalusia. Mu’tazilah inilah fase tatkala filsafat digunakan untuk memahami Islam. Mengambil idea Plato dan Aristoteles dan lainnya. Filsafat menjadi acuan. Ibnu Sina berkata, kebenaran bisa dirujuk dari dua jalur. Dengan akal maka akses menuju kebenaran juga tercapai. Karena berbeda dengan Nabi yang diberi kekhususan untuk memahaminya secara langsung. Tapi manusia bisa membuatnya setara dengan kemampuan Nabi memahami kebenaran, dengan akal. Dari sinilah muncul gejolak.

Mu’tazilah merambah pesat. Karena seiring jamannya, masa itulah pula sains Islam tinggi dahsyat. Istana megah, bangunan mewah, dan segala teknologi tinggi, dicapai Islam di abad pertengahan. Masa itu pula banyak yang menjadi muslim di satu sisinya. Tapi mu’tazilah ini dianggap berbahaya. Karena Imam Ghazali berkata, “akal tak sepenuhnya bisa dijadikan sandaran mencari kebenaran. Karena akal bisa terkadang melakukan kesalahan.”

Sadar akan bahaya rasio sebagai pijakan memahami Tauhid, Imam Asy’ari pun muncul. Setelah bertobat dari pengikut mu’tazilah. Tapi dia tak kemudian menjadi wahabbi/salafi. Melainkan yang meluruskan kembali pemahaman aqidah. Imam Asy’ari meluruskan pembengkokan pemahaman mu’tazilah. Maka lahirlah metode untuk memahami aqidah. Dari situlah ada sifat 20 Allah Subhanahuwataala. Yang wajib dipahami muslimin, agar tak keliru arah.

Kemudian muncullah Imam Al Ghazali dan Shaykh Abdalqadir al Jilani yang membawa kembali umat pada tassawuf. Ada tiga golongan ulama yang membentengi aqidah. Kelompok pertama, dengan menggunakan dalil aqli. Dari Imam Ghazali sampai Imam Sanusi. Kemudian kelompok yang gunakan dalil naqli. Dari Imam Bukhari, Al Baihaqi sampai Abu Amr al Dhani. Kemudian kelompok yang menggunakan tassawuf.

Dari sinilah Shaykh Abdalqadir al Jilani sampai Abu Nu’aim. Hasilnya melahirkan kembali generasi Salahuddin al Ayyubi. Yang membawa kembali Al Quds ke pangkuan Islam. Karena fase sains tinggi, mu’tazilah itu, Al Quds lepas dari kaum muslimin. Puncaknya, andalusia –yang ketinggian sains-nya— malah direbut oleh kaum kuffar. Tassawuf melahirkan generasi Kesultanan Seljuk sampai Daulah Utsmani. Fase itu, bukti nyata aqidah menjadi benteng bagi muslimin urusan aqidah.

Tapi filsafat kemudian diambil Eropa. Digunakan untuk menyerang dogma Gereja Roma. Tapi kemudian liar tak terkendali melahirkan modernitas dan positivisme. Disinilah problem baru muncul kembali. Filsafat materialisme ala rennaisance, melampui apa yang diteorikan kaum mu’tazilah. Kaum muslimin mendapat imbas belakangan. Setelah rennaisance mengobrak abrik Nasrani, barulah kemudian merangsek kembali ke dunia Islam.

Tanzimat di Utsmani, sampai gerakan modern melahirkan modernis Islam dan sekelompok baru bernama wahabbi. Dari sini problem aqidah kembali mencuat. Sifat 20 yang dirumuskan ulama, dulu sangat bisa digunakan untuk membentengi aqidah dari serangan mu’tazilah dan lainnya. Banyak ulama masih membahasnya, tapi sebatas baru bisa membentengi dari serangan wahabbi. Tapi belum begitu “tangguh” dalam menghadapi filsafat materialis ala barat.

Karena dari sana justru perusakan aqidah makin membabi buta. Karena berimbas pada hilangnya syariat. Masa filsafat mu’tazilah, syariat tak diubah. Tapi masa filsafat rennaisance, syariat berubah total. Hilang. Alhasil jamak dijumpai ada yang fasih berbicara sifat 20, tapi gagap dalam melihat efek pada syariat. Karena filsafat rennaisance, sampai menghilangkan emas dan perak, menjadi kertas.

Menghilangkan iradah Tuhan, berganti seutuhnya pada qudrah manusia. Inilah buah dari keliaran filsafat. Alhasil berbentuk humanisme, konstitusionalisme, sampai positivisme. Para pembedah aqidah 20 dari fase mu’tazilah, masih gagap dalam melahap bagaimana filsafat materialisme ala barat itu. Alhasil yang muncul adalah fasih bercakap aqidah, tapi lumpuh tatkala masuk ke wilayah syariat, yang berganti rechtstaat.

Dari sinilah muncul ulama besar dari Eropa, Shaykh Abdalqadir as sufi. Bak di jaman Shaykh Abdalqadir al Jilani, dia berperan yang sama. Beliau seorang Mursyid tariqah, yang memberi jalur melencengnya filsafat rennaisance di Eropa. Hingga membimbing jalan menuju aqidah ahlu Sunnah Wal Jamaah. Karena beliau muncul dari lingkungan rasionalitas murni, Eropa tadi. Beliau membawa jalan agar umat kembali pada aqidah, dengan jalan mendedah lemahnya filsafat rennaisance itu.

Dari sanalah beliau menyodorkan Nietzsche, Martin Heidegger, Carl Smith, hingga Ernt Junger. Karena urusan aqidah masa kini, kita tak lagi berhadapan pada Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lainnya. Melainkan pada sosok akrobatik baru semisal Francis Bacon, Rene Descartes, Immanuel Kant sampai John Austin. Dari sanalah akrobatik filsafat melonjak liar menghasilkan kemusyrikan modern.

Masa mu’tazilah, muslimin hanya kehilangan Al Quds dan Andalusia. Tapi fase filsafat materialisme ini, muslimin hampur tersapu bersih kehilangan negeri-negeri muslim. Maka, membedah kembali aqidah menjadi pondasi penting bagi muslimin hari ini. Agar kembali melahirkan generasi Salahuddin masa modern. Itulah inti dari generasi ‘new nomos’. 

| Penulis adalah Advokat dan Direktur Eksekutif ‘Mahkamah Institute’.