Indonesia Mungkin Tenggelam

Ilustrasi. Foto: RMOL
Ilustrasi. Foto: RMOL

SEJAK dilantik Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat bulan Januari lalu. Setidaknya sudah dua kali Joe Biden menyinggung Indonesia manakakala membicarakan dampak pemanasan global yang memicu perubahan iklim dan mendorong kenaikan permukaan air laut.

Pertama saat ia berbicara di Pangkalan Militer AS di Mildenhall, Inggris pada 9 Juni lalu. Kedua, tanggal 27 Juli lalu di Kantor Direktur Intelijen Nasional di Mclean, Virginia.

Dalam kedua kesempatan itu, Joe Biden menceritakan salah satu briefing pertama yang diterimanya dari Departemen Pertahanan AS saat dia baru menduduki kursi Wakil Presiden mendampingi Presiden Barack Obama di tahun 2009.

“Anda tahu apa yang dikatakan Kepala Gabungan (Panglima Angkatan Bersenjata AS) kepada kami tentang ancaman terbesar yang dihadapi Amerika? Pemanasan global,” kata Joe Biden.“Karena akan ada perpindahan penduduk yang signifikan, perebutan tanah, jutaan orang meninggalkan tempat karena mereka benar-benar tenggelam di bawah laut di Indonesia; karena perebutan tanah yang subur".

Sementara ketika berbicara di Mclean, Virginia, Joe Biden mengatakan, “(Setelah saya terpilih) Departemen Pertahanan mengatakan ancaman terbesar yang dihadapi Amerika: perubahan iklim.”

Joe Biden menilai, dengan asumsi kenaikan permukaan air laut setinggi 2,5 kaki atau setara 76 centimeter, di Afrika Utara jutaan orang akan berimigrasi dan memperebutkan tanah yang subur, dan mungkin sekali akan saling bunuh.

“Apa yang terjadi -- apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?” kata Joe Biden lagi sambil bertanya dan mengajak pendengarnya untuk memikirkan hal itu dengan sungguh-sungguh.

Soal pemanasan global dan perubahan iklim ini tentu bukan barang baru. Di tahun 2006, mantan Wakil Presiden AS Al Gore memproduksi film dokumenter untuk mempromosikan bahaya pemanasan global bagi dunia. “An Inconvenient Truth” judulnya.

Film itu dan gagasan pemansan global mencuri perhatian masyarakat dunia untuk waktu yang cukup lama.

Ahli lingkungan Indonesia, Prof. Emil Salim, usai menonton film itu di tahun 2007 berkata kepada saya dengan kenaikan permukaan air laut setinggi satu meter atau setara 3,2 kaki, Indonesia akan kehilangan 2.500 pulau, dan Pulau Jawa yang merupakan pulau dengan jumlah penduduk paling padat di negeri ini akan menjadi yang sangat terdampak.

Pernyataan Prof. Emil Salim itu dapat ditemukan di link ini: An Inconvenient Truth: 2030 Indonesia Tenggelam.

Lama setelah itu, pemanasan global dan perubahan iklim tak lagi terdengar nyaring. Hanya sayup-sayup, terutama bila ada hujan yang sangat deras di berbagai wilayah Indonesia, khususnya Jakarta, yang memicu banjir besar. Dan pada gilirannya banjir besar itu pun memicu perang opini publik. Saling menyalahkan.

Di luar itu, ia nyaris tak dibicarakan dengan sungguh-sungguh, sampai Joe Biden kembali menyampaikannya di Mildenhall, Inggris dan Virginia, AS.

Saya kira, "kampanye" pemanasan global dan perubahan suhu ala Joe Biden tidak akan berhenti di Virginia. Ini, termasuk prediksi Indonesia tenggelam, akan kembali dia sampaikan dalam kesempatan berikutnya.

Temuan Ahli Indonesia

Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas dalam program BlowBack! di Kantor Berita Politik RMOL mengatakan, kenaikan permukaan air laut memang dapat dideteksi dengan menggunakan Satelit Altimetri. Namun kenaikannya tidak cukup signifikan. Hanya sekitar enam milimeter dalam satu tahun.

Apa yang paling mengancam Indonesia, menurut Ketua Bidang Kebencanaan Ikatan Alumni (IA) ITB itu adalah penurunan tanah.

Dan menurutnya, dalam sepuluh tahun terakhir penurunan tanah di Jakarta sudah dapat dikendalikan, walau di beberapa titik sudah kadung berada di bawah permukaan air laut. Pada kurun 2007 sampai 2011, penurunan tanah di Jakarta sangat signifikan antara 10 sampai 20 centimeter. Sementara saat ini laju penurunan tanah di Jakarta melambat menjadi antara lima sampai 10 centimeter.

Heri Andreas menambahkan, dalam periode yang sama, penurunan tanah secara signifikan justru terjadi di pesisir utara Jawa Tengah, khususnya di Pekalongan, Semarang, dan Demak. Di ketiga kota itu, permukaan tanah turun antara 10 sampai 20 centimeter -- seperti situasi yang dialami Jakarta pada kurun 2007-2011.

Memang secara alamiah permukaan tanah akan mengalami penurunan akibat pemadatan atau kompaksi, beban pembangunan, dan eksploitasi air tanah atau aquafier. Secara umum, sumbangan eksploitasi air tanah menjadi faktor penyebab paling besar. Bisa mencapai 60 persen.

Permukaan tanah tidak hanya turun di pesisir utara Jawa, tetapi juga di pesisi timur Sumatera dan pesisir barat-selatan-timur Kalimantan akibat pengeringan lahan gambut yang dikonversi menjadi hutan tanaman industri dan kebun sawit.

Bila di pesisir utara Jawa hanya belasan ribu hektar tanah yang mengalami penurunan permukaan hingga di bawah laut, maka di Sumatera dan Kalimantan pada 2050 diperkirakan sekitar satu juta hektar tanah akan berada di bawah permukaan air laut.

“Pakai kata tenggelam itu mengerikan. Saya banyak diprotes. Tetapi ada potensi tenggelam,” demikian Heri Andreas.