Inilah Anak Muda Iran yang Menguasai 19 Bahasa

Teguh Santosa dan Abu Ali Al Husyain Ibn Abdullah Ibn Sina. Foto: dokumentasi pribadi.
Teguh Santosa dan Abu Ali Al Husyain Ibn Abdullah Ibn Sina. Foto: dokumentasi pribadi.

DI tahun 1990 Ali Pirhani baru berusia lima tahun. Setiap hari ia ikut ke tempat ayahnya bekerja di makam Ibnu Sina yang ada di kota mereka, Hamedan di kawasan barat laut Iran.

Ibnu Sina yang punya nama asli Abu Ali Al Husyain Ibn Abdullah Ibn Sina lahir di penghujung abad ke-10 di Afshana, sebuah kota di dekat Bukhara yang kini merupakan bagian dari Uzbekistan. Dikenal sebagai peletak dasar ilmu kedokteran modern, filsuf itu meninggal dunia pada 1037 dan dimakamkan di Hamedan.

Selama masa hidupnya, Ibnu Sina menulis sekitar 450 artikel dengan berbagai subjek dan topik mulai dari kedoketran, astronomi, kimia, geologi, psikologi, studi Islam, matematika, fisika, hingga puisi. Dari jumlah itu sekitar 240 artikel dan naskah dapat diselamatkan hingga kini.

Karya-karya Ibnu Sina menyebar hingga ke belahan bumi Barat, dimana ia dikenal dengan nama Avicenna, dan sumbangan besarnya pada ilmu pengetahuan, terutama dunia kedokteran, diakui seluruh dunia. Setelah Ibnu Sina meninggal dunia, makamnya di Hamedan ramai dikunjungi turis dari berbagai belahan dunia hingga sekarang.

Di makam Ibnu Sina itulah untuk pertama kali Ali Pirhani kecil berinteraksi dengan orang-orang yang mengunjungi makam Ibnu Sina dari belahan lain bumi. Dari sekian banyak turis yang mengunjungi makam Ibnu Sina, Ali Pirhani kecil tertarik pertama kali pada turis Prancis.

Ia dengan tekun mendengarkan turis-turis dari Prancis itu berbicara di antara mereka, sambil diam-diam mempelajari bahasa mereka. Bungsu dari tiga bersaudara yang lahir di tahun 1985 itu hanya membutuhkan waktu enam bulan untuk menguasai dan dapat berkomunikasi dengan sangat baik dalam bahasa Prancis.

Selanjutnya, di usia yang terbilang muda, hanya enam tahun, Ali Pirhani sudah menjadi tour guide bagi turis dari Prancis yang mengunjungi makam Ibnu Sina.

“Saya baru berusia lima tahun ketika diajak ayah saya mengunjungi makam Ibnu Sina setiap hari. Di sana saya bertemu dengan turis Prancis. Saya berusaha bisa mendekati mereka dan mendengarkan bahasa yang mereka gunakan, dan memberanikan diri berbicara dengan mereka,” cerita Ali Pirhani ketika berkunjung ke stand Rakyat Merdeka Online di arena pameran media internasional di Mushala Besar Imam Khomeini di Tehran, Iran.

Seorang teman Iran yang mendampingi Ali Pirhani membawanya ke stand Indonesia di bagian internasional di lantai dua, setelah mereka berkeliling di arena kantor berita dan penerbitan Iran yang terletak di lantai satu.

Setelah 21 tahun berlalu sejak pertemuan pertama dengan turis-turis Prancis di makam Ibnu Sina, kini Ali Pirhani dikenal sebagai salah seorang hyperpolyglot. Di usianya yang baru 26 tahun, ia menguasai 19 bahasa asing. Diantaranya bahasa Jerman, Spayol, Italia, Hindi, Swedia, Romania, Rusia, Arab, Hebrew, Turki, Portugis, Esperanto, Finlandia, China, Latin dan Yunani.

Ali Pirhani meraih gelar sarjana sastra Inggris di usia 22 tahun. Tiga tahun kemudian ia telah mengantongi gelar doktor bidang hukum internasional. Karena ingin menularkan kemampuannya kepada publik Iran maupun masyrakat dunia, Ali Pirhani mendirikan Polyglot Center.

Di lembaga ini ia mengembangkan metode pengajaran bahasa secara elektronik atau e-learning. Di Asia, terutama Iran, Irak dan Tajikistan, Polyglot Center memiliki tak kurang dari 5.000 murid. Sementara di kawasan Eropa murid Polyglot Center sekitar 3.000 orang. Metode e-learning yang dikembangkan Ali Pirhani memungkinkan seseorang memiliki kemampuan yang tinggi untuk mempelajari bahasa-bahasa asing.

“Saya tidak pernah memiliki guru (untuk mempelajari bahasa asing). Saya tidak pernah mengambil kelas khusus,” ujarnya lagi.

Menurut Ali Pirhani, kunci di balik kemampuannya mempelajari begitu banyak bahasa asing adalah kedisiplinan dan ketertarikan. Disiplin, menurutnya, adalah keahlian tersendiri yang membuat seseorang dapat mengerjakan beberapa hal sekaligus dengan hasil yang optimal.

Ali Pirhani bukan satu-satunya polyglot yang ada di muka bumi. Kini ia tercatat sebagai polyglot yang menguasai bahasa terbanyak kedua di dunia, setelah Dr. Jack C. Richards.

Pria kelahiran Selandia Baru berusia 62 tahun lalu itu menguasai 23 bahasa asing. Dr. Richard mengantongi gelar sarjana sastra Inggris dari Universitas Wellington pada tahun 1966 dan mengantongi gelar doktoral pada bidang linguistik terapan dari Laval University di Quebec, Kanada tahun 1972.

Jack Richards telah menulis lebih dari 60 artikel dan 20 buku mengenai kemampuan berbahasa dan mempelajari bahasa asing. Artikel dan buku-bukunya itu telah diterjemahkan pula ke dalam sejumlah bahasa termasuk Spanyol, China, Korea, Jepang dan Arab.

Ali Pirhani beberapa kali bertemu dengan Jack Richards.

“Dia terlihat tua,” ujar Ali Pirhani tentang kesan pertama saat bertemu Jack Richards.

Karena itu, Ali Pirhani yakin dalam waktu singkat dia dapat mengalahkan jumlah koleksi bahasa Jack Richards. Dalam pertemuan pertama, kedua polyglot besar itu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jerman.

“Saya yang memulai pembicaraan, dan itu dengan bahasa Jerman,” cerita Ali Pirhani.

Bagi Ali Pirhani yang gemar berenang, bahasa Jerman adalah bahasa asing yang paling sulit dipelajari. Sebabnya, karena logika dan struktur bahasa Jerman berbeda jauh dengan bahasa Iran yang merupakan bahasa-ibu (mother tounge) Ali Pirhani. Sementara bahasa Spanyol agak lebih mudah dipelajari karena memiliki logika dan struktur yang serupa dengan bahasa Prancis yang lebih dahulu dikuasai Ali Pirhani.

Umumnya orang Iran yang mengunjungi stand Indonesia mengira koran-koran Rakyat Merdeka Group yang dipamerkan, mulai Rakyat Merdeka, Lampu Hijau, Non Stop, Lowongan Kerja, Tangsel Pos, Banten Pos dan Radar Satelit hingga Majalah Rakyat Merdeka diterbitkan dalam bahasa Inggris. Anggapan ini karena koran-koran tersebut sudah barang tentu menggunakan huruf Latin. Kelihatannya ada semacam anggapan umum bahwa apapun tang dituliskan dengan huruf latin adalah bahasa Inggris.

Baru setelah mengamati satu dua kali, pengunjung stand Indonesia biasanya baru mengerti bahwa koran-koran yang dipamerkan ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Ali Pirhani pun demikian. Satu di antara beberapa pertanyaan awal yang saya sampaikan adalah apakah dia bisa berbahasa Indonesia.

Ali Pirhani menggelengkan kepala.

Baru setelah beberapa saat ia duduk dan mengamati koran-koran yang tergeletak di atas meja di depannya, baru dia menyadari bahwa dia banyak kata yang dituliskan dalam bahasa Indonesia dengan huruf Latin itu.

“Saya tahu, ini artinya people,” kata Ali sambil menunjuk kata rakyat pada Rakyat Merdeka.

“Apakah merdeka berarti they?” tanya Ali Pirhani.

Dia tersenyum setelah saya menjelaskan bahwa kata merdeka berarti freedom, sementara kata mereka berarti they. Merdeka dan mereka hanya dibedakan oleh satu huruf yakni d.

Ia memperhatikan kata demi kata dalam sebuah berita headline Rakyat Merdeka. Ternyata Ali Pirhani mengetahui sekitar setengah dari semua kata yang dibacanya.

“Sejak sebulan lalu saya belajar bahasa Malaysia,” ujar Ali Pirhani membuka rahasia di balik pengetahuannya akan beberapa kata dalam bahasa Indonesia. Tetapi ia baru tahu bahwa bahasa Malaysia dan bahasa Indonesia memiliki akar yang sama, yakni bahasa Melayu.

“Kuliah singkat” saya tentang demografi dan keragaman bahasa di Indonesia agaknya menarik perhatian Ali Pirhani dan ia mengatakan akan mengunjungi Indonesia suatu saat nanti untuk mengenal lebih jauh Indonesia dan untuk memperkenalkan Polyglot Center dan mengajarkan kemampuan menjadi polyglot kepada masyarakat Indonesia. 

| Penulis adalah wartawan

Dikutip dari teguhtimur.com